Bisnis.com, JAKARTA - Detasemen Khusus atau Densus 88 Antiteror menangkap terduga penyandang dana ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) Harry Kuncoro pada 3 Januari 2019. Pengamat militer dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, melihat setidaknya ada tiga hal yang bisa ditelisik dari penangkapan terduga Harry.
SIMAK: Penyandang Dana ISIS, Harry Kuncoro, Murid Abu Bakar Ba'asyir
"Pertama, soal jaringan. Bagaimana komunikasi dengan penghubung di Suriah yang ternyata masih berjalan. Begitu juga dengan sel-sel tidur yang Harry kelola," kata Khairul saat dihubungi, Selasa (12/2/2019).
Kemudian, Harry yang masih bisa melakukan transaksi keuangan dengan jumlah nominal cukup besar. Ketiga, Harry masih bisa memiliki akses untuk mendapat dokumen perjalanan.
Dari beberapa hal tersebut, Khairul menyebut bahwa masih banyak celah dan ruang yang bisa dimanfaatkan teroris serta jaringannya untuk tetap berkiprah.
"Koordinasi lintas Kementerian/Lembaga dalam penanggulangan teror ini belum rapi. Terutama dalam konteks pencegahan dan pengawasan," kata Khairul
Baca Juga
Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88) menangkap terduga penyandang dana ISIS atau Negara Islam Irak dan Suriah di Indonesia, Harry Kuncoro, di Bandara Soekarno-Hatta pada 3 Januari 2019. Ia dicokok ketika hendak akan pergi ke Suriah melalui Iran.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan Harry memiliki peran penting dalam lingkaran ISIS di Indonesia. Selain sebagai penyandang dana, Harry juga memiliki jaringan yang kuat ke luar negeri.
Ia dianggap menguasai wilayah Indonesia dan Asia karena pernah belajar di Arab Saudi dan Afghanistan. Bahkan hubungannya dengan pihak Suriah sudah sangat intens terjadi.
Harry Kuncoro yang diduga terhubung dengan ISIS ini dibidik dengan Pasal 12 A ayat 1 UU 5/2018 ttg tindak pidana teror, pasal 15 jo pasal 7 UU 15 tahun 2003, Pasal 13 huruf C UU 15/2003, dan Pasal 263 karena pemalsuan dokumen keberangkatannya ke Suriah.