Bisnis.com, JAKARTA - Ombudsman Republik Indonesia menemukan beberapa potensi maladministrasi dalam proses perizinan kepemilikan senjata api non-organik untuk kepentingan bela diri bagi masyarakat sipil.
Hal ini terungkap dari hasil Kajian Systemic Review yang dilakukan Ombudsman terkait penyelenggaraan perizinan, pengawasan dan pengendalian kepemilikan senjata api non organik untuk kepentingan bela diri bagi masyarakat sipil.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Adrianus Meliala menjelaskan Polri memegang peranan penting dalam fungsi pengawasan, pengendalian dan penyelenggaraan perizinan kepemilikan senjata api.
“Fungsi Polri memberikan perizinan senjata api bagi masyarakat sipil merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang erat kaitannya dengan aspek administrasi,” terang Adrianus, Selasa (22/1/2019).
Kajian yang dilakukan mulai Mei 2018 hingga Januari 2019 ini bertujuan untuk mengetahui proses perizinan, pengawasan dan pengendalian kepemilikan senjata api serta memberikan masukan guna perbaikan pelayanan publik. Selain itu juga untuk menemukan solusi terbaik dalam penyelenggaraan proses izin dan pengawasan atas kepemilikan senjata api.
Selain itu juga diharapkan dapat ditemukan faktor-faktor yang mendukung keberhasilan penyelenggaraan izin dan pengawasan kepemilikan senjata api.
Adrianus memaparkan potensi maladministrasi ditemukan pada tahap permohonan izin baru atau perpanjangan, hal ini dikarenakan sistem pembayaran tidak dilakukan melalui bank namun langsung kepada petugas di loket.
“Selain itu Perkap Nomor 18 Tahun 2015 belum mengatur secara jelas mengenai jangka waktu layanan,” ujarnya.
Potensi maladministrasi berikutnya adalah dalam proses perpanjangan izin yakni tidak dilakukan kembali tes menembak, tes kesehatan dan tes psikologi seperti saat perizinan awal. Selain itu, tidak semua Polda memiliki gudang untuk penyimpanan senjata sebagai bentuk tindakan pengendalian senjata api yang telah habis masa berlakunya.
Atas temuan tersebut, Ombudsman memberikan opsi perubahan, yakni kepada Kapolri untuk melakukan revisi Peraturan Kapolri Nomor 18 Tahun 2015 khususnya mengenai komponen standar layanan agar menyesuaikan dengan Pasal 21 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Opsi perubahan lainnya mengenai jangka waktu penarikan senjata yang telah habis masa berlakunya. Mengenai perpanjangan izin senjata api perlu dilakukan kembali tes kesehatan, tes psikologi dan tes menembak. Selanjutnya, perlu dilakukan pengaturan mengenai mekanisme pembayaran biaya permohonan izin senjata api bagi masyarakat sipil.
“Kepada Menkopolhukam dan DPR agar dilakukan finalisasi mengenai draf Rancangan Undang – Undang tentang Senjata Api. Mengingat Peraturan Perundang-Undangan tentang Senjata api cukup usang dan perlu pembaharuan,” tutup Adrianus.
Metode pengumpulan data dalam kajian ini adalah dengan melakukan wawancara terhadap Baintelkam Polri, Polda Sumatera Utara, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Timur, Polda Metro Jaya, dan Polda Sulawesi Selatan. Telaah dokumentasi juga dilakukan serta kunjungan ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Amnesty International.