Bisnis.com, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua dan Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi serta 11 orang lainnya sebagai tersangka dalam pengembangan perkara dugaan suap kepada anggota DPRD Jambi terkait dengan pengesahan RAPBD Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2017-2018.
Ketiga belas tersangka tersebut, yaitu:
1. Cornelis Buston, Ketua DPRD Provinsi Jambi
2. A. R. Syahbandar, Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi
3. Chumaidi Zaidi, Wakil Ketua DPRD Provinsi Jambi
4. Elhelwi, Anggota DPRD Provinsi Jambi
5. Gusriza, Anggota DPRD Provinsi Jambi
6. Effendi Hatta, Anggota DPRD Provinsi Jambi
7. Zainal Abidin, Ketua Komisi III
8. Sufardi Nurzain, Fraksi Golkar
9. Cekman, Fraksi Restorasi Nurani
10. Tadjudin Hasan, Fraksi PKB
11. Parlagutan Nasution, Fraksi PPP
12. Muhammadiyah, Fraksi Gerindra
13. Jeo Fandy Yoesman alias Asiang, swasta
Ketua KPK Agus Rahardjo memandang perilaku sejumlah anggota DPRD yang masih meminta dan menerima uang terkait dengan pelaksanaan kewenangan tidak pantas dilakukan oleh pejabat yang diberikan kepercayaan oleh rakyat melalui pemilu.
"KPK telah menangani kasus serupa di sejumlah daerah dan mengingatkan agar baik Kepala Daerah ataupun DPRD tidak meminta atau menerima suap terkait pelaksanaan tugasnya," ujar Agus di KPK, Jumat (28/12/2018).
Perkara ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK di Jambi pada 28 November 2017 yang dilanjutkan dengan penyidikan hingga persidangan untuk empat orang, yaitu:
1. Supriyono, Anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014-2019, divonis tiga tahun penjara dan denda Rp100 juta subsidair tiga bulan kurungan
2. Erwan Malik, Plt. Sekretaris Daerah Provinsi Jambi, divonis tiga tahun enam bulan dan denda Rp100 juta subsidair enam bulan
3. Arfan, Plt. Kepala Dinas PUPR Provinsi Jambi, divonis tiga tahun dan denda Rp100 juta subsidair tiga bulan
4. Saipudin, Asisten Daerah 3 Provinsi Jambi, divonis enam tahun penjara dan denda Rp400 juta serta pencabutan hak politik selama lima tahun sejak selesai menjalani pidana pokok.
Selain empat orang tersebut, Pengadilan sudah memberi vonis terhadap Zumi Zola selaku Gubernur Jambi dengan pidana kurungan selama enam tahun dan denda Rp500 juta serta pencabutan hak untuk dipilih selama lima tahun dihitung sejak selesai menjalani pidana pokok.
Setelah mencermati fakta-fakta persidangan dan didukung dengan alat bukti berupa keterangan saksi, surat, dan barang elektronik, KPK menduga para unsur pimpinan DPRD Jambi meminta uang "ketok palu", menagih kesiapan uang "ketok palu", melakukan pertemuan untuk membicarakan hal tersebut, meminta jatah proyek dan/atau menerima uang dalam kisaran Rp100 juta atau Rp600 juta per orang.
Sementara itu, para unsur Pimpinan Fraksi dan Komisi di DPRD Jambi diduga mengumpulkan anggota fraksi untuk menentukan sikap terkait dengan pengesahan RAPBD Jambi, membahas dan menagih uang "ketok palu", menerima uang untuk jatah fraksi dan/atau menerima uang untuk jatah perorangan dalam kisaran Rp100 juta, Rp140 juta, dan Rp200 juta.
Untuk para Anggota DPRD Jambi diduga mempertanyakan apakah ada uang "ketok palu", mengikuti pembahasan di fraksi masing-masing, dan/atau menerima uang dalam kisaran Rp100 juta atau Rp200 juta per orang.
Total dugaan pemberian suap "ketok palu" untuk pengesahan RAPBD Tahun Anggaran 20017-2018 adalah Rp16,34 miliar, dengan pembagian:
•Untuk pengesahan RAPBD Tahun Anggaran 2017 senilai Rp12,94 miliar
•Untuk pengesahan RAPBD Tahun Anggaran 2018 Rp3,4 miliar
Agus mengatakan selama proses penyidikan hingga persidangan dengan terdakwa Zumi Zola terdapat lima orang yang mengembalikan uang kepada KPK senilai Rp685,3 juta dari unsur Gubernur Jambi dan Anggota DPRD Jambi.
Atas perbuatannya, 12 Anggota DPRD Provinsi Jambi Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara itu, Jeo Fandy Yoesman selaku pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.