Bisnis.com, WASHINGTON - Penahanan dua jurnalis Myanmar yang bekerja untuk Reuters mengundang reaksi keras Amerika Serikat.
Wakil Presiden AS Mike Pence, Selasa waktu setempat menyerukan agar pemerintah Myanmar membatalkan putusan pengadilan yang memenjarakan dua wartawan Reuters dengan hukuman kurungan selama tujuh tahun. Pence meminta kedua jurnalis itu segera dibebaskan.
Kedua wartawan itu dinyatakan bersalah dalam peradilan Myanmar, Senin, terkait tuduhan membocorkan rahasia negara dalam sebuah kasus penting. Peradilan ini dinilai sebagai ujian bagi kemajuan menuju demokrasi di Myanmar, yang diperintah junta militer hingga 2011.
Wa Lone, 32, dan Kyaw Soe Oo, 28, sedang menyelidiki pembunuhan oleh pasukan keamanan Myanmar terhadap warga desa Rohingya saat penangkapan mereka Desember lalu. Kedua jurnalis itu mengaku tidak bersalah.
"Wa Lone dan Kyaw Soe Oo seharusnya dipuji — bukan dipenjara — karena pekerjaan mereka mengungkap pelanggaran hak asasi manusia dan pembunuhan massal. Kebebasan beragama dan kebebasan pers sangat penting untuk demokrasi yang kuat, ”tulis Pence di Twitter.
Pence adalah pejabat AS tertinggi yang menyuarakan kecaman atas putusan hakim di Myanmar, yang memvonis kedua wartawan itu telah melanggar Undang-Undang Rahasia Negara era kolonial ketika keduanya mengumpulkan dan memperoleh dokumen rahasia.
Baca Juga
Sebelumnya, istri para jurnalis pada Selasa menyatakan suami mereka tidak bersalah. Dalam pernyataannya di Yangon, kedua wanita ini meminta agar para suami mereka dipersatukan kembali dengan keluarga.
"Sangat terganggu oleh putusan pengadilan Burma yang menghukum 2 jurnalis Reuters 7 tahun penjara karena melakukan pekerjaan mereka melaporkan tentang kekejaman yang dilakukan terhadap orang-orang Rohingya," tulis Pence dalam tweet lain.
Duta Besar AS untuk PBB Nikki Haley mengatakan pada hari Selasa bahwa Amerika Serikat akan menjadi lebih vokal atas kondisi dua wartawan itu.
Berbicara pada konferensi pers di New York, Haley mengatakan bahwa para wartawan itu "dipenjara karena mengatakan yang sebenarnya."
Mark Green, administrator untuk Badan Pembangunan Internasional AS, mengatakan "kenyataan itu jelas menunjukkan kemunduran besar bagi demokrasi dan supremasi hukum di Burma."
Burma adalah lain Myanmar.