Bisnis.com, JAKARTA – Penjualan mobil di Inggris turun pada paruh pertama tahun ini, bertolak belakang dengan kenaikan permintaan di kawasan Uni Eropa lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit) turut merusak keyakinan konsumen.
Berdasarkan data dari riset Lloyds dan Gfk, penjualan mobil baru di Inggris turun ke level 6,3%, atau melanjutkan penurunan sejak tahun lalu. Sementara itu, data optimisme bisnis juga turun ke level terendahnya pada Juni 2018 karena warga Inggris menjadi lebih muram dan tidak berminat melakukan transaksi.
Sementara itu, menurut data yang dirilis European Automobile Manufacturers’ Association (ACEA), penjualan mobil di seluruh Eropa meningkat ke level 2,8% selama semester I/2018 ditopang oleh peningkatan permintaan di Perancis dan Spanyol. Selain itu, Jerman sebagai pasar terbesar di Benua Biru juga mencatatkan kenaikan pembelian mobil sebesar 2,9%.
Peter Fuss, mitra konsultan di EY mengungkapkan, ketidakpastian yang terjadi di Inggris karena Brexit secara khusus telah menyeret optimisme konsumen.
“Kami memperkirakan penjualan [mobil] di Inggris masih akan melanjutkan pelemahan setidaknya hingga musim gugur [tahun ini], ketika perundingan dengan Uni Eropa memberikan kepastian,” ujarnya, seperti dikutip Bloomberg, Selasa (17/7/2018).
Adapun dengan tenggat waktu Brexit yang kurang dari setahun lagi, dan pemerintah yang masih berjuang menyatukan suara, konsumen di Inggris semakin pesimistis terhadap prospek ekonomi Negeri Ratu Elizabeth.
Baca Juga
Pasalnya, kekhawatiran bahwa Inggris akan keluar dari UE tanpa kesepakatan formal membuat masyarakat Inggris lebih memilih untuk menabung daripada membelanjakan uangnya.
Terbaru, PM Inggris Theresa May masih berjuang menghadapi Parlemen Inggris pada Selasa (17/7/2018). Dia tetap teguh dengan rencananya untuk mempertahankan hubungan dagang yang lama dengan UE dan menyebut itu adalah satu-satunya pilihan untuk Brexit.
Namun, proposal itu tidak memuaskan semua pihak alih-alih malah memperdalam jurang pemisah di antara anggota kabinetnya yang pro-Brexit dan pro-UE.
“Kita tidak dapat memuaskan semua orang. Kita harus mengkompromikan posisi yang dapat membuat Inggris mendapatkan kesepakatan dari UE,” ujar Menteri Perdagangan Inggris Liam Fox, seperti dikutip Reuters, Selasa (17/7/2018).
Sejauh ini, May telah kehilangan 10 orang menteri dari kabinetnya karena tidak setuju dengan proposal tersebut. Hal itu pun menimbulkan kekhawatiran karena gejolak terjadi di Pemerintahan May hanya beberapa bulan sebelum proposal yang berisi anggaran sebesar 40 miliar euro tersebut diserahkan ke Parlemen Eropa.
“Voting yang semakin meruncing di Parlemen baru awal dari segalanya untuk keseluruhan perjalanan Perdana Menteri,” kata George Freeman, anggota Parlemen Inggris dari Partai Konsevatif.
Adapun pada Selasa, voting di tingkat Parlemen Inggris masih akan berlanjut membicarakan aturan perdagangan, yang fokusnya mengubah kesepakatan dagang antara UE dan negara non-UE dengan Inggris menjadi kesepakatan bilateral. Oleh karena aturan ini bersifat teknikal, maka hasilnya hanya berupa revisi dan tidak akan menghasilkan kebijakan perdagangan yang baru.