Kabar24.com,JAKARTA -Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arif Budiman berpendapat bahwa mekanisme diskualifikasi terhadap calon kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi paling tepat diimplementasikan.
Hal itu diungkapkan Arif dalam diskusi bertajuk 'Korupsi Pilkada dan Penegakan Hukum', di Jakarta, Sabtu (17/3/2018).
Menurutnya, revisi Peraturan KPU tentang pencalonan dirasakan paling memungkinkan dibandingkan merevisi UU Pilkada maupun menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
“Secara pribadi saya menilai kalau dalam revisi itu ada mekanisme calon yang menjadi tersangka diganti hal itu tidak mendidik. Ke depan orang seenaknya saja bisa maju toh nanti kalau jadi tersangka bisa diganti,” paparnya.
Karena itu, menurutnya, yang paling baik adalah diaturnya mekanisme diskualifikasi bagi calon yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Dengan demikian, partai politik pengusung akan sangat serius melakukan analisis kualitas dan rekam jejak bakal calon sebelum didaftar ke KPUD.
Akan tetapi, lanjut Arif, agar tidak terjadi upaya kriminalisasi untuk menghambat karier politik seseorang, maka perlu diatur kriteria perkara seperti korupsi atau penganiayaan berat bahkan pembunuhan.
Baca Juga
Peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Fahdil Ramadhanil menilai semestinya penyelenggara pemilu, khususnya KPU harusnya menetapkan regulasi mengenai diskualifikasi sejak jauh hari sebelum beberapa calon kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi.
“Mesti diatur detail diskualifikasinya misalkan tidak bisa mengikuti tahapan dari awal, separuh masa kampanye dan mendekati pemungutan suara,” tuturnya.
Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, KPK telah menetapkan beberapa calon kepala daerah berstatus penyelenggara negara, sebagai tersangka dalam perkara korupsi seperti Nyono Suharli, calon Bupati Jombang, Marianus Sae, calon Gubernur NTT, Imas Aryumningsih calon Bupati Subang, Asrun calon Gubernur Sulawesi Tenggara serta Ahmad Hidayat Mus, calon Gubernur Maluku Utara.