Kabar24.com, JAKARTA — Politisi Partai Gerindra Ahmad Dhani Prasetyo berpotensi lepas dari jeratan tindak pidana ujaran kebencian apabila Mahkamah Konstitusi memberikan denifisi baru atas terminologi ‘antargolongan’.
Ahmad Dhani yang seorang musisi itu disangka penyidik Polda Metro Jaya melanggar Pasal 28 Ayat 2 jo Pasal 54A Ayat 2 UU No. 19/2016 tentang Perubahan atas UU No. 11/2008 tentang UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Saat ini, kedua pasal tersebut digugat di Mahkamah Konstitusi.
Ali Hakim Lubis, kuasa hukum Ahmad Dhani dari Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), mengatakan kliennya menolak tuduhan penyebaran kebencian terhadap suatu golongan sebagaimana termaktub dalam UU ITE.
Karena itu, dia berharap MK menghapus istilah antargolongan yang multitafsir dalam beleid tersebut. “Kalau dikabulkan, nanti putusan MK bisa kami pakai untuk proses hukum dia [Ahmad Dhani],” katanya usai sidang uji materi UU ITE di Jakarta, Senin (4/12/2017).
Setelah menjadi tersangka, Ali mengungkapkan kliennya tengah menanti langkah penyidikan berikutnya. Walaupun dijerat hukuman 6 tahun, penyidik tidak menahan pendiri kelompok musik Dewa tersebut karena dianggap kooperatif.
“Sampai saat ini belum ada perkembangan baru. Kami tunggu kalau ada kekurangan apa dari polisi,” ujarnya.
Putusan uji materi UU MK diperkirakan berada dalam jangka waktu yang sama dengan proses penyidikan, penuntutan, atau pengadilan perkara Ahmad Dhani. Pasalnya, sidang pemeriksaan saksi ahli hari ini merupakan agenda terakhir sehingga sidang berikutnya MK akan memutus uji materi UU ITE.
Ahmad Dhani sendiri bukan pemohon perkara itu. Pemohonnya adalah Ketua Dewan Pembina ACTA Habiburokhman dan Asma Dewi. Pengacara Dhani, Ali Hakim Lubis, turut menjadi kuasa hukum pemohon.
Keduanya memohonkan uji materi Pasal 28 Ayat 2 dan Pasal 54A Ayat 2 UU ITE karena mengalami kerugian konstitusional dengan eksistensi kata ‘antargolongan’.
Pasal 28 Ayat 2 berbunyi larangan bagi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA.”
Adapun, Pasal 54A Ayat 2 UU ITE mengatur ketentuan pidana atas pelanggaran Pasal 28 Ayat 2 yakni penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Kedua pemohon mengaku kerap mengeluakan pendapat melalui media arus utama mapun media sosial. Akan tetapi, mereka menganggap istilah antargolongan dalam UU ITE kabur dan tidak seterang terminologi suku, agama, ras. Tanpa definisi yang jelas, pemohon menganggap aparat penegak hukum bisa menjerat para kritikus pemerintah.
Dalam sidang, Ali Hakim Lubis mengambil kasus Ahmad Dhani sebagai contoh konkret kerugian konstitusional warga negara dengan keberadaan istilah antargolongan. Polisi, kata dia, menyangka kliennya menyebarkan kebencian karena mengunggah frasa ‘para pendukung penista agama’ dalam akun media sosialnya.
“Bukankah membenci penista agama dengan membenci koruptor sama saja karena keduanya sama-sama pidana?” katanya.
Henri Subiakto, saksi ahli pemerintah, mengatakan terminologi antargolongan sengaja dimasukkan sebagai target kebencian bersama-sama dengan objek suku, agama, dan ras. Keempat obyek itu lazim disingkat menjadi SARA.
Menurut dia, istilah antargolongan harus ada guna mengakomodasi kelompok masyarakat di luar segmen suku, agama, dan ras. Henri mencontohkan perkembangan situasi sosial memungkinkan lahirnya kelompok baru berbasis gender, orientasi seksual, ideologi politik, hingga kelas ekonomi.
“Apakah adil di suatu negara kalau kelompok tersebut dibatasi dari perlindungan ujaran kebencian?” tanya Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Hukum ini.
Henri menambahkan pemerintah sama sekali tidak melarang masyarakat untuk mengemukakan pendapat di media sosial. Walau demikian, tambah dia, pemerintah wajib melindungi segenap anak bangsa dari sasaran ujaran kebencian yang bisa bermuara pada tindak kekerasan.
“Mencoret huruf A sehingga [SARA] tinggal SAR itu berimplikasi serius. Ini akan berpotensi terjadi kekacauan dan kekosongan hukum,” ujar dia.