Bisnis.com, JAKATA - KPK melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Tumenggung, tersangka kasus korupsi dalam pemberian surat keterangan lunas kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp4,8 triliun sehingga merugikan negara Rp3,7 triliun.
"KPK telah melakukan pencegahan ke luar negeri terhadap tersangka SAT. Informasi yang kami terima pencegahan dilakukan sejak 21 Maret 2017 untuk enam bulan setelah pencegahan itu dilakukan," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu (26/4/2017).
Febri menjelaskan sejak penyidikan dilakukan dalam kasus tersebut KPK sudah mengagendakan pemeriksaan terhadap tiga orang saksi.
"Pada 17 April diagendakan pemeriksaan terhadap Rizal Ramli, saat itu saksi tidak hadir dan akan dijadwalkan ulang kemudian pada 20 April diagendakan pemeriksaan saksi Kwik Kian Gie yang bersangkutan datang memberi keterangan, dan pada 25 April diagendakan pemeriksaan saksi Artalyta Suryani tetapi tidak hadir tentu kami akan lakukan pemanggilan kembali," kata Febri.
Foto: Sjamsul Nursalim
Lebih lanjut, Febri menyatakan dalam proses penyelidikan sudah dilakukan permintaah keterangan terhadap 32 orang.
Kasus korupsi pemberian surat keterangan lunas kepada Sjamsul Nursalim senilai Rp4,8 triliun merugikan negara Rp3,7 triliun.
"Jadi 32 orang ini termasuk yang saat ini sudah menjadi tersangka, yaitu Syafruddin Arsyad Tumenggung. Unsur-unsur saksi dari pihak BPPN, dari pihak Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), dari pihak Kementerian Keuangan, pihak Bank Indonesia, dan pihak Sekretaris Negara," ucap Febri.
Febri juga mengatakan mulai pekan depan KPK akan kembali melakukan pemanggilan saksi-saksi termasuk saksi-saksi yang belum hadir pada pemeriksaan 17 April dan 25 April 2017.
Foto: Syafruddin Tumenggung
Syafruddin selaku ketua BPPN diduga menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan perekonomian negara dalam penerbitan SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI pada tahun 2004.
Atas penerbitan SKL itu diduga kerugian negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun. Terhadap SAT disangkakan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca Juga
Atas penerbitan SKL itu diduga kerugian negara sekurang-kurangnya Rp3,7 triliun.
Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas saat krisis moneter 1998. Skema untuk mengatasi masalah krisis ini atas dasar perjanjian Indonesia dengan IMF.
Bank Indonesia sudah mengucurkan dana hingga lebih dari Rp144,5 triliun untuk 48 bank yang bermasalah agar dapat mengatasi krisis tersebut. Namun, penggunaan pinjaman ternyata tidak sesuai dengan ketentuan sehingga negara dinyatakan merugi hingga sebesar Rp138,4 triliun karena dana yang dipinjamkan tidak dikembalikan.
Terkait dengan dugaan penyimpangan dana tersebut, sejumlah debitur diproses secara hukum oleh Kejaksaan Agung. Akan tetapi, Kejaksaan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada para debitur dengan dasar SKL yang diterbitkan oleh BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden RI Megawati yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi. Berdasar Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Foto: Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan
Dalam penyelidikan kasus ini, KPK sudah memeriksa sejumlah pejabat pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004, yaitu Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2001 s.d. 2004 Laksamana Sukardi, Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) I Putu Gede Ary Suta, Menteri Koordinator Perekonomian pada Kabinet Gotong Royong 2001 s.d. 2004 Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Menteri Keuangan dan Koordinator Perekonomian periode 2000 s.d. 2001 Rizal Ramli, Menteri Keuangan 1998 s.d. 1999 Bambang Subiyanto, Menko Perekonomian 1999 s.d. 2000 dan Kepala Bappenas 2001 s.d. 2004 Kwik Kian Gie.