Bisnis.com, JAKARTA - Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksamana Madya Arie Soedewo mengungkap hubungannya dengan suami artis Inneke Koesherawati, yaitu Direktur Utama PT Merial Esa Fahmi Darmawansyah.
"Saya tahu yang bersangkutan bernama Fahmi Saidah, tapi begitu OTT (Operasi Tangkap Tangan), saya baru tahu namanya Fahmi Darmwansyah," kata Arie dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (26/4/2017).
Arie mengungkapkan hal itu saat menjadi saksi untuk Fahmi Darmawansyah yang didakwa menyuap empat pejabat Bakamla senilai 309.500 dolar Singapura, US$88.500, 10 ribu euro dan Rp120 juta untuk mendapatkan proyek "monitoring satellite" di Bakamla.
"Saya ke rumah Fahmi Saidah karena saat itu saya cari rumah dinas untuk disewa. Kemudian dikenalkan sama Fahmi Saidah, setelah saya pertimbangkan saya memilih rumah yang saya tempati sekarang, yaitu milik PT Timah, milik BUMN yang tidak ada kaitannya dengan masalah pekerjaan di Bakamla," ungkap Arie.
Arie mengaku dua kali datang ke rumah Fahmi Darmawahsyah.
"Saya datang dua kali, pertama tadi kita lihat mungkin rumahnya terlalu mewah atau mampu tidak DIPA saya untuk menyewa," kata Arie.
Baca Juga
Kedatangan kedua adalah ketika mulai ada isu mengenai "dana komando", yaitu bahwa anak buah Arie menerima uang dari perusahaan pemenang proyek di Bakamla.
"Lalu setelah saya dengar rangkaiannya (dana komando) saya ke rumah beliau apakah benar beberapa staf saya sudah terima uang? Tolong jangan dijanjikan atau diapakan staf saya segala macam tentang uang atau komitmen karena saya ingin barang itu yang terbaik dan administrasi lengkap," kata Arie.
Kedatangannya itu terjadi pada November 2016.
Namun Arie mengakui pernah membicarakan soal anggaran "drone" dan sejumlah pengadaan barang lain di Bakamla yang masih mendapat tanda bintang oleh Kementerian Keuangan sehingga pendanaannya tidak dapat cair.
Jaksa pun membuka bukti pesan dari Fahmi kepada Arie lewat "whatsapp" mengenai hal itu yang berbunyi "Ass jenderal, atas arahan pres saya sudah koordinasi dengan meneku, DJA (Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu), ketua banggar dan Bappenas ternyata surat bappenass no 7622 tidak pernah disampaikan ke DJA oleh Dwi Puji Atuti, sudah dimarahi dan ditegur keras kami semua jadi Insya Allah hari Selasa surat dikirim lagi setelah itu dicabut".
"Apakah pesan ini terkait masalah cabut bintang drone?" tanya jaksa Kiki Ahmad Yani.
"Setelah DJA menjawab surat saya untuk merapatkan ulang karena tidak ada di rencana kerja kemudian saya tidak tahu maksud kata-kata itu masih diupayakan, masih keluar tapi saya tidak tahu jawaban itu, tapi terserah," jawab Arie.
"Selain pengadaan 'monitoring satellite' apakah tahu terdakwa juga ikut pengadaan 'drone'?" tanya jaksa Kiki.
"Tidak tahu," jawab Arie.
Arie baru kali ini menghadiri sidang sebagai saksi karena pada panggilan pertama ia bertugas ke Manado dan panggilan kedua Arie pergi ke Australia. Arie baru menghadiri panggilan setelah pimpinan KPK menyurati Panglima TNI untuk memerintahkan Arie hadir dalam persidangan.
Dalam dakwaan, Arie disebut meminta jatah 7,5 persen dari total anggaran pengadaan proyek "monitoring satellite" di Bakamla. Permintaan itu disampaikan pada sekitar Oktober 2016 di ruangan Arie yang menyampaikan kepada Eko Susilo Hadi agar meminta jatah 15 persen nilai pengadaan untuk Kabakamla, sedangkan 7,5 persen untuk Bakamla dan akan diberikan dulu sebesar 2 persen.
Empat pejabat Bakamla yang diduga disuap Fahmi Darmawansyah adalah mantan Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Bakamla Eko Susilo Hadi dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) TA 2016 sebesar 100 ribu dolar Singapura, 88.500 ribu dolar AS, 10 ribu euro.
Direktur Data dan Informasi Bakamla merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bambang Udoyo sebesar 105 ribu dolar Singapura, Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan 104.500 dolar Singapura dan Kasubag TU Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono Rp120 juta.