Kabar24.com, JAKARTA - Meski sudah menyatakan bahwa penyebar hate speech atau ujaran kebencian bisa diperkarakan, polisi belum menindak pelaku yang menggunakan Facebook.
Ternyata, perbedaan hukum yang berlaku antara Pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat menjadi hambatan bagi penyidik Bareskrim untuk menyelidiki sejumlah kasus ujaran kebencian di jejaring sosial Facebook.
"Perbedaan regulasi jadi tantangan kami dengan pemilik FB di Amerika Serikat," kata Kasubdit II Direktorat Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Himawan Bayu Aji, di acara Gathering Jurnalis Trunojoyo 2017, di Jakarta, Minggu 26/3/2017).
Himawan mengatakan bahwa terdapat sejumlah ujaran kebencian yang dibagikan oleh para pemilik akun di Facebook. Kendati demikian, pihaknya kesulitan untuk meminta data pelaku ujaran kebencian tersebut kepada pihak Facebook.
"Mereka enggak akan berikan data karena di AS itu hate speech itu biasa saja," katanya.
Ia menyebut, sejumlah kasus ujaran kebencian maupun kasus SARA di Facebook ditangani dengan restore justice.
Baca Juga
Restore justice merupakan pembinaan terhadap pelaku untuk menumbuhkan kesadaran etik dalam penggunaan teknologi informasi atau siber atau media sosial sehingga diharapkan nantinya pelaku dapat menjadi agen perubahan yang bisa mengedukasi komunitasnya.
"Kalau dia men-share, belum jadi viral, kami lakukan restore justice, meminta dia lakukan permintaan maaf, hapus konten, lalu minta dia sosialisasikan ke komunitasnya," katanya.
Menurut dia, restore justice layak untuk dilakukan karena penegakan hukum saja tidak akan efektif.
"Penegakan hukum saja tidak efektif 100%. Kami tangkap satu, muncul tiga pelaku. Kami tangkap tiga, muncul 10 pelaku," katanya.
Selain itu, restore justice juga dilakukan karena jumlah personel Bareskrim yang terbatas. Tak hanya pelaku yang dijadikan agen perubahan, pihaknya juga menggandeng sejumlah komunitas siber untuk meluruskan berbagai berita bohong yang beredar di media sosial.