Kabar24.com, JAKARTA - Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi menyerahkan semua proses hukum terhadap Sekretaris MA Nurhadi kepada KPK. Hal itu disampaikan menyusul dikeluarkannya surat perintah penyelidikan kepada Nurhadi.
Namun demikian, menurut dia, penyelidikan terhadap sekretarisnya itu baru awal dari proses hukum dan belum tentu berujung ke penyidikan.
“Penyelidikan kan hanya mencari alat bukti apakah ada alat bukti yang menunjukkan keterlibatan dia dalam perkara itu,” kata Suhadi di Jakarta, Selasa (26/7/2016).
Suhadi mengatakan dalam prosesnya tetap saja, bisa saja terbukti atau tidak. Sebelum menyimpulkan apakah ada keterkaitan atau tidak, Suhadi meminta publik menunggu hasil penyelidikan KPK.
Dalam catatan Bisnis.com, nama Nurhadi pasca terbongkarnya suap Panitera Pengadillan Negeri (PN) Jakarta Pusat jarang tampil di hadapan publik.
Bahkan, sejak kasus itu bergulir, kolega dia di MA yakni Hakim Agung Gayus Lumbuun pernah mengungkapkan jika pria asal Kudus, Jawa Tengah itu tak menampakkan batang hidungnya lebih dari satu bulan.
Tak hanya itu, berbagai upaya untuk membongkar keterlibatan Nurhadi, telah menghasilkan sejumlah barang bukti. Misalnya, dalam penggeledahan yang dilakukan KPK di rumahnya di Jalan Hang Lekir, Jakarta Selatan, penyidik menyita uang senilai Rp1,7 miliar.
Mereka juga menyita dokumen dalam penggeledahan itu. Dalam perkembangannya penyidik juga menemukan transaksi mencurigakan di rekening milik Nurhadi dan Istrinya Tin Zuraida.
Peranannya semakin kentara dalam dakwaan milik Doddy Aryanto Supeno, penyuap panitera PN Jakpus Edy Nasution. Kejadiannya bermula dari sengketa antara PT Across Asia Limited (AAL) dan PT First Media.
PT AAL sesuai Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 214/Pdt.Sus-Pailit/2013 tanggal 31 Juli 2013, dinyatakan pailit. Putusan telah diberitahukan oleh PN Jakarta Pusat kepada PT AAL pada tanggal 7 Agustus 2015.
Awalnya pihak PT AAL tidak mengajukan banding ke MA sampai batas akhir pengajuan selesai. Namun keputusan itu berubah. Eddy Sindoro dari PT Artha Pratama Anugerah memerintahkan anak buahnya yakni Wresti Kristian Hesti dan Doddy Aryanto Supeno untuk mengurus pengajuan kembali.
Dalam proses tersebut, Wresti kemudian menemui Edy Nasution. Edy awalnya mengaku tak bisa membantu pengurusan perkara itu. Hanya saja, setelah diiming-imingi uang senilai Rp50 juta, dia mengabulkan permintaan dari pihak Eddy Sindoro.
Untuk memastikan berkas PK itu segera dikirim, Nurhadi menghubungi Edy Nasution. Dalam percakapan melalui telepon itu, dia meminta Edy segera menyerahkan berkas ke MA. Berkas kemudian dikirim pada tanggal 30 Maret 2016.
Meski rangkaian mulai terlihat, masih ada pekerjaan rumah yang menanti KPK untuk menyusun puzzle soal keterlibatan Nurhadi dalam sejumlah pengurusan perkara di lembaga peradilan.
Royani, sopir sekaligus orang dekat Nurhadi itu tak kunjung ditemukan. Padahal, dia diduga mengetahui soal seluk beluk praktik permainan perkara yang diduga melibatkan atasannya itu.
Hal serupa juga terjadi pada Eddy Sindoro. Eddy yang dalam dakwaan berperan sebagai pengatur kasus suap belum berhasil ditemukan keberadaanya. Bahkan, ada kabar yang mengatakan, bekas Eddy Sindoro itu sudah berada di luar negeri.
Selain mereka, ada pula empat anggota Brimob, yang sebelumnya menjadi pengawal Nurhadi, juga belum berhasil dihadirkan penyidik untuk dimintai keterangannya.
Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan penyidik masih memburu keberadaan Royani dan Eddy Sindoro. Kasus terus dikembangkan, hanya memang belum menemukan titik terang terkait keberadaan dua orang itu.
Untuk empat anggota Polri, pihaknya masih menunggu koordinasi dengan pihak kepolisian. “Yang jelas masih didalami,’ kata Agus.