Bisnis.com, JAKARTA - Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri keterlibatan pihak yang diduga korupsi dalam tiga proses menyangkut proyek reklamasi Teluk Jakarta.
Ketua KNTN Riza Damanik menuturkan reklamasi bukanlah solusi untuk pembangunan kota-kota pantai di Indonesia, apalagi solusi untuk kesejahteraan nelayan atau penyelamatan lingkungan perairan. Proyek itu, sambungnya, justru memperparah kerentanan masyarakat pesisir terhadap perubahan iklim dan mempersempit ruang hidup nelayan.
Dia menegaskan KNTI mendukung KPK untuk mendalami keterlibatan pihak lain, baik jajaran eksekutif, legislatif maupun swasta terlibat dalam proyek reklamasi. KNTI menyebutkan tiga kegiatan terindikasi korupsi adalah Rancangan Peraturan Daerah Zonasi Pesisir, perizinan reklamasi Teluk Jakarta, dan pengambilan material pasir yang diduga merugikan negara.
"KNTI juga meminta Presiden, Gubernur DKI dan DPRD DKI Jakarta untuk menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta secara keseluruhan," kata Riza dalam keterangannya, Sabtu (2/4/2016).
Di sisi lain, KNTI juga meminta KPK untuk melakukan pengawasan terhadap pelbagai proyek reklamasi lainnya yakni di Teluk Benoa, Bali serta pesisir Makassar, Sulawesi Selatan. Riza menegaskan pemerintah harus menindaklanjuti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan dalam rangka memberikan kepastian untuk mewujudkan kesejahteraan para nelayan tersebut.
Pada pekan ini, KPK menangkap tangan Mohamad Sanusi, Ketua DPRD DKI Jakarta karena diduga menerima suap dari PT Agung Podomoro Land (APL) Tbk terkait rencana pengesahan aturan daerah zonasi pesisir. PT APL mendapatkan izin pada akhir 2014, melalui anak usahanya PT Muara Wisesa Samudra, untuk menggarap reklamasi Pulau G. Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja sendiri ditahan KPK karena terkait dengan korupsi tersebut setelah ditetapkan sebagai tersangka.