Bisnis.com, SAMARINDA—Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur mempermasalahkan kebijakan PT Lanna Harita Indonesia yang mengizinkan warga menggunakan air bekas galian tambang di Sungai Siring, Samarinda yang berujung pada kematian Yusuf Subhan (11).
Koordinator Jatam Kaltim Merah Johansyah mengatakan pihaknya sudah dipertemukan dengan Lanna Harita Indonesia (LHI) di Jakarta pada 10 September 2015. Dalam pertemuan tersebut juga hadir perwakilan dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kaltim, dan BLH Samarinda.
“Di antaranya yang menjadi perdebatan adalah mengenai status lubang lambang, plang milik LHI, pagar ulin yang baru dipasang dan kebutuhan air bersih warga,” ujarnya dalam keterangan resmi, Senin (14/9/2015).
Menurut Merah, dalam pertemuan tersebut pihak LHI mengakui kolam yang menjadi tempat kejadian perkara (TKP) kematian Yusuf merupakan lubang bekas tambang yang tak direklamasi. Pihak perusahaan menuturkan warga meminta sisa lubang untuk dijadikan sumber air, sehingga perusahaan akhirnya membiarkan lubang menganga tanpa pengawasan.
Merah mempersoalkan kebijakan perusahaan tersebut karena tidak mereklamasi dan juga tidak melakukan pengamatan serta pengujian kualitas air di kolam tersebut. Menurut Jatam, pagar juga baru di pasang 12 jam setelah kejadian.
M Yusuf Subhan adalah korban ke 11 dari lubang bekas tambang batu bara di Pampang, di kawasan LHI. Perusahaan ini memiliki wilayah konsesi seluas 30.018 hektar di Samarinda dan Kutai Kartanegara.