Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kisah Serge Atlaoui dan Pabrik Ekstasinya di Cikande

Nama Serge Areski Atlaoui, terpidana mati untuk kasus narkoba, dicabut dari daftar hukuman mati gelombang kedua. Hal itu tentu saja menjadi sorotan, karena Serge merupakan peracik dan salah satu pembangun dari sebuah pabrik ekstasi di Cikande, Tangerang.
Serge Areski Atlaoui, warga negara Prancis yang dijatuhi hukuman mati/Reuters
Serge Areski Atlaoui, warga negara Prancis yang dijatuhi hukuman mati/Reuters

Kabar24.com, JAKARTA- Nama Serge Areski Atlaoui, terpidana mati untuk kasus narkoba, dicabut dari daftar hukuman mati gelombang kedua. Hal itu tentu saja menjadi sorotan, karena Serge merupakan peracik dan salah satu pembangun dari sebuah pabrik ekstasi di Cikande, Tangerang.

 

Awalnya, pencabutan nama Serge diduga sebagai akibat dari besarnya tekanan dari pemerintah Prancis. Pemerintah Prancis memberikan ultimatum pada Indonesia akan ada konsekuensi diplomatik apabila eksekusi Serge dilanjutkan.

Namun Kejaksaan Agung membantah dugaan itu. Serge melakukan upaya hukum baru pada menit-menit terakhir batas pengajuan upaya hukum. Sebelumnya, Serge sudah pernah mengajukan peninjauan kembali dan gugatan ke pengadilan tata usaha negara.

"Bukan karena tekanan, tapi karena dia mengajukan perlawanan terhadap putusan PTUN yang menolak gugatannya terhadap keppres grasi," ujar Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Tony Spontana, seperti dilansir Tempo.

Serge adalah pria kelahiran Prancis, 16 Desember 1963. Dia merupakan salah satu pembangun pabrik narkotik terbesar ketiga di dunia yang berlokasi di Cikande, Tangerang.

Dia membangun pabrik itu bersama 21 orang lainnya yang juga menerima hukuman berat. Sembilan di antaranya mendapat dihukum mati, yaitu Benny Sudrajat alias Tandi Winardi, Iming Santoso alias Budhi Cipto, Zhang Manquan, Chen Hongxin, Jian Yuxin, Gan Chunyi, Zhu Xuxiong, Nicolas Garnick Josephus Gerardus alias Dick, dan Serge Areski Atloui.

Pabrik di mana Serge menjadi teknisi itu berdiri di atas lahan seluas 4.000 meter persegi. Kemampuan produksinya mencapai 100 kilogram per minggu. Satu kilogram bungkus ekstasi produksi pabrik itu berisi 10 ribu butir pil. Satu pil berharga setidaknya Rp 100 ribu. Satu pekan, omzetnya mencapai Rp100 miliar.

Pada 11 November 2005, polisi menggerebek pabrik tersebut. Dari penggerebekan itu, pihak kepolisian menemukan berton-ton bahan pembuat ekstasi di dalam drum dan setidaknya 250 kilogram narkotik.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Sumber : Tempo.co
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper