Bisnis.com, TANGERANG— Saya berhenti beberapa detik sebelum memasuki pagar besi bercat hitam selebar 1,5 meter.
Garis bibir melebar. Menatap museum tersebut seperti melihat sehelai pita di dalam tumpukan tali-temali kusut yang didominasi rafia dan sumbu kompor bekas, batin saya.
Museum dua lantai itu dicat putih pada dindting dan hitam untuk berbagai kusen dan titik-titik penyangga bangunan. Seluruh jajaran pagar pun dicat hitam. Tak banyak hal spesial dari penataan taman di halaman cagar budaya ini. Cuma ada beberapa batang tanaman setinggi 1- 1,5 meter tertanam di dalam pot.
Rasa ingin tahu terhadap isi bangunan berusia sekitar 300 tahun ini melambung saat melihat ornamen dinding depan dan pintu utama. Ada tirai merah membalut daun pintu hitam, sepasang patung kirin laki-laki dan perempuan bak penjaga yang selalu beri hormat kepada semua tamu.
Lampion
Pintu kayu tersebut diapit jendela kayu dengan warna cat sama, ada teralis warna cokelat muda di tengah-tengahnya. Saat kepala mendongak, terpampang tiga lampion menggantung tenang. Warnanya lagi-lagi merah, tetapi satu yang di tengah berwarna cokelat.
Keramik hitam berukuran sekitar 1 x 0,5 meter tertanam pada dinding putih, tepat di samping jendela kanan. Di sana tertera informasi bangunan ini disahkan sebagai museum pada 11 November 2011 (11/11/2011) pukul 20.11 WIB oleh Harimurti Kridalaksana, Ping Supandi, dan Udaya Halim si pemilik cagar budaya ini.
“Hou de zai wu,” tulisan di samping daun pintu ini menahan bola mata sejenak. Tindakan yang penuh kebajikan membuahkan kebaikan, demikian artinya.
Suasana yang saya dapati sebelum melintasi pintu utama sangat khas China tetapi bukan hanya itu. Betul ini museum tentang kebudayaan Tionghoa di Tangerang, tetapi saya tak merasa ini terlalu ala China. Ya, inilah hasil peranakan Tionghoa Tangerang, inilah China Benteng.