Bisnis.com, JAKARTA- Pemerintahan China atau Tiongkok belakangan mengeluarkan pernyataan bagi seluruh peranakan dan keturunan Tionghoa untuk memandang negeri tersebut sebagai kampung halaman yang ramah.
Terkait kebijakan tersebut, Michael Andrew selaku co-founder Roemah Bhineka yang menghimpun sebagian besar etnik Tionghoa di Tanah Air mengungkapkan selayaknya tidak menganggu persepsi terhadap upaya pembangunan bersama sebagai komponen Bangsa Indonesia.
“Baik Tionghoa maupun komponen bangsa Indonesia lainnya dihimbau untuk mejalankan panggilan bersama untuk membangun bangsa dan negara, di tengah-tengah arus globalisasi dan tarik-menarik kekuatan-kekuatan dunia,” ungkapnya dalam seminar bertajuk “Kebijakan Kewarganegaraan Tiongkok dan Etnik Tionghoa di Indonesia,” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI), di Cikini, Jakarta, Sabtu (25/22023).
Hadir juga dalam seminar tersebut Ketua FSI yang juga seorang dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan (UPH) Johanes Herlijanto, Ph.D. Bertindak sebagai moderator dalam seminar ini adalah Isyana Adriani, dosen Hubungan Internasional Universitas Presiden, Cikarang.
Seminar dimulai dengan pemaparan Johanes mengenai kebijakan Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping terhadap orang-orang Tionghoa seberang lautan (Chinese Overseas). Menurutnya, di bawah kepemimpinan Xi, kebijakan Tiongkok terkait dengan orang-orang Tionghoa seberang lautan makin jauh berbeda dari kebijakan yang diambil oleh para pemimpin-pemimpin Cina yang lalu.
Bila pada masa yang lampau terdapat pembedaan yang jelas antara orang-orang Tionghoa yang disebut huaqiao (Warga Negara Tiongkok perantauan) dan mereka yang disebut sebagai huaren (etnik Tionghoa) serta huayi (keturunan Tionghoa)—keduanya merujuk pada orang-orang Tionghoa yang tidak berkewarganegaraan Tiongkok—maka pada era Xi Jinping, pembedaan tersebut menjadi kabur.
Baca Juga
Dalam berbagai pidato dan pernyataan, baik Xi Jinping sendiri maupun para pejabat tinggi di bawah kepemimpinannya seringkali menggunakan istilah-istilah yang menegaskan kembali hubungan antara Tiongkok dan orang-orang Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia, tanpa memandang apapun kewarganegaraan mereka.
Padahal saat masih berada di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, Tiongkok telah secara tegas melepaskan pengakuannya atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Pengakuan tersebut tertuang dalam undang-undang kewarganegaraan yang diterbitkan pada tahun 1980.
Johanes mengatakan bahwa perubahan kebijakan terkait orang-orang Tionghoa di luar Cina itu terlihat jelas tak lama setelah Xi dikukuhkan sebagai pemimpin tertinggi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk pertama kalinya.
“Segera setelah berada di tampuk kekuasaannya pada 2013, Xi mempopulerkan konsep “Impian Cina” (China Dream) yang bertujuan pada peremajaan kembali (rejuvenation) bangsa Tiongkok. Dalam upaya peremajaan kembali bangsa Tiongkok inilah Xi mempopulerkan konsep ‘satu keluarga besar Tionghoa’ (Zhonghua da jiating), yang merujuk pada seluruh orang-orang Tionghoa tak peduli apapun status kewarganegaraan mereka,” tuturnya.
Johanes menambahkan bahwa Beijing di bawah Xi Jinping juga menggunakan istilah ‘saudara sebangsa dari seberang lautan’ (haiwai qiaobao) untuk merujuk pada etnik Tionghoa di berbagai belahan dunia. Pada, Xi pernah mengatakan bahwa Tiongkok yang bersatu adalah akar bersama dari putra dan putri Tiongkok di dalam dan di luar Cina.
“Dalam pandangan Profesor Suryadinata, Xi menggunakan istilah putra putra Tiongkok [Zhonghua ernu] untuk merujuk baik orang-orang Tionghoa yang berada di Tiongkok maupun yang berada di luar Tiongkok,” pungkas Johanes
Selaras dengan Xi, para pejabat tinggi Tiongkok lain juga menekankan sikap yang sama dalam pernyataan-pernyataan mereka dalam sepuluh tahun belakangan ini. Kembali merujuk pada Suryadinata, Johanes mengatakan, “Pada 2015, di hadapan para pengusaha Tionghoa dari berbagai belahan dunia, Perdana Menteri Li Keqiang menyampaikan harapannya agar para pebisnis Tionghoa seberang lautan berperan sebagai ‘kekuatan baru yang efektif’ bagi transformasi ekonomi dan pembangunan di Cina.”
Sementara itu, dalam sebuah pidato pada September 2015, Duta Besar Tiongkok untuk Malaysia menyatakan penekanan berikut “…huaqiao dan huaren, ke mana pun kalian pergi, tak peduli sudah berapa generasi kah kalian, Tiongkok akan selamanya menjadi rumah ibu yang hangat bagi kalian.”
Johanes menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan serupa pernah pula disampaikan oleh para pejabat Tiongkok di Indonesia. “Menurut catatan Profesor Suryadinata, pada April 2012, Direktur dari Kantor Urusan Tionghoa Perantauan Beijing, Li Yinze, menganjurkan generasi muda Tionghoa Indonesia untuk belajar Bahasa Mandarin demi memperkuat identifikasi mereka dengan bangsa Tiongkok,” papar Johanes.