Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Suryadharma Ali Tolak Tandatangani Berita Acara Penahanan

Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali menolak untuk menandatangani berita acara penahanannya.
Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali saat memasuki Gedung KPK untuk diperiksa, di Jakarta, Jumat (10/4)./JIBI-Nurul Hidayat
Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali saat memasuki Gedung KPK untuk diperiksa, di Jakarta, Jumat (10/4)./JIBI-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA -  Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali menolak untuk menandatangani berita acara penahanannya.

"Tiba-tiba saya disodorkan surat perintah penahanan dan saya menolak menandatangani surat perintah penahanan itu berikut berita acaranya," kata Suryadharma yang mengenakan rompi oranye tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi di depan gedung KPK Jakarta, Jumat (10/4/2015).

Suryadharma menjalani pemeriksaan selama sekitar 6,5 jam sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama 2012-2013.

Ia lalu ditahan di rumah tahanan Kelas 1 Jakarta Timur cabang KPK di Denpom Guntur Jakarta Selatan.

"Saudara sekalian, tadi saya diperiksa baru meliputi siapa nama saya, siapa nama istri saya, siapa nama anak-anak saya, keluarga saya. kemudian riwayat hidup saya, keluarga istri saya. Baru sampai di situ, belum sampai pada materi yang disangkakan," ungkap Suryadharma.

Politisi PPP itu mengaku diperlakukan tidak adil."Kenapa saya menolak (menandatangani)? Satu, sekali lagi saya merasa diperlakukan tidak adil dan bisa jadi saya ditetapkan, ditahan mulai hari ini bisa juga sebagai bentuk balas dendam kepada saya karena saya melakukan praperadilan," tambah Suryadharma.

Pada Rabu (8/4), Hakim Tunggal Tatik Hadiyanti di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan menolak seluruhnya permohonan praperadilan yang diajukan Suryadharma Ali yang menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama 2012-2013.

Putusan tersebut didasarkan pada Pasal 1 Ayat 10 KUHAP jo Pasal 77 jo Pasal 82 Ayat 1 huruf d yang sifatnya sangat limitatif mengatur bahwa penetapan tersangka bukan termasuk objek praperadilan.

"KPK ini lembaga istimewa, tidak ada SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) oleh karenanya kehati-hatian itu harus lebih diutamakan dan untuk menguji kehati-hatian itu haruslah ada forumnya. Lalu kalau forum praperadilan dianggap sebagai tidak memiliki kewenangan untuk mempermasalahkan prosedur penetapan saya sebagai tersangka lalu saya harus mencari ke mana lagi?" ungkap Suryadharma dengan nada sedih.

Ia pun menegaskan bahwa pengajuan praperadilannnya bukanlah upaya melawan KPK.

"Dan (praperadilan) itu bukan sebagai bentuk perlawanan kepada KPK. Praperadilan yang saya lakukan bukan bentuk perlawanan kepada KPK tapi semata-mata hanya ingin mencari keadilan," tambah Suryadharma.

KPK mengenakan dua sangkaan kepada Suryadharma yaitu dugaan tindak pidana korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama 2012-2013 dan 2010-2011.

SDA sebelumnya sudah dua kali mangkir dari pemanggilannya sebagai tersangka yaitu pada 10 Februari 2015 dengan alasan sakit dan dirawat di RS MMC Jakarta sedangkan panggilan kedua adalah pada 24 Februari dengan alasan sedang mengajukan praperadilan di PN Jakarta Selatan. Sebelumnya KPK sudah pernah memanggil SDA pada 4 Februari 2015, namun surat panggilan tersebut salah karena menyebut SDA sebagai saksi.

KPK dalam kasus ini menduga ada pelanggaran dalam beberapa pokok anggaran yaitu Badan Penyelenggara Ibadah Haji, pemondokan, hingga transportasi jamaah haji di Arab Saudi yang mencapai Rp1 triliun pada 2012-2013.

Suryadharma Ali diduga mengajak keluarganya, unsur di luar keluarga, pejabat Kementerian Agama hingga anggota DPR untuk berhaji padahal kuota haji seharusnya diprioritaskan untuk masyarakat yang sudah mengantri selama bertahun-tahun.

Mantan Menteri Agama Suryadharma Ali menjadi tersangka berdasarkan sangkaan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Martin Sihombing
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper