Bisnis.com, JAKARTA -- Konflik internal menjadi hal yang lazim terjadi di partai politik dengan sistem suksesi kepemimpinan secara terbuka. Selain Partai Golkar, PPP adalah salah satu partai yang paling sering dilanda konflik terkait suksesi.
Jejak konflik internal di PPP bisa ditelusuri puluhan tahun lalu, tepatnya pada dekade 1970-an. Tetapi itu dulu, sewaktu zaman pemerintahan Orde Baru.
Sementara konflik suksesi yang terjadi belakangan ini sejatinya berakar dari beda preferensi politik antara elite PPP saat Pemilihan Presiden atau Pilpres 2014 lalu.
Konflik saat itu terjadi antara kubu Suryadharma Ali - Djan Faridz yang waktu itu memilih untuk mendukung calon presiden Prabowo Subianto dan Romahurmuziy di kubu Joko Widodo (Jokowi).
Namun di tengah konflik yang sedang berkecamuk, Suryadharma Ali tersandung korupsi. Dia kemudian divonis bersalah oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat. Romahurmuziy berada di atas angin. Konflik beralih antara Djan Faridz vs Romahurmuziy.
Dualisme kepemimpinan PPP terjadi. Djan Faridz kemudian mendeklarasikan diri sebagai Ketua Umum PPP. Hal itu sesuai dengan hasil Muktamar PPP di Jakarta. Sementara Romahurmuziy Ketua Umum versi Muktamar Surabaya.
Baca Juga
Usai aksi saling deklarasi, baik kubu Djan Faridz maupun Romahurmuziy mengklaim sebagai pemilik PPP yang sah. Konflik antara kedua elite politik ini kemudian berimbas terhadap suara PPP.
Pada saat Pilpres 2019 lalu, misalnya, banyak kader PPP tidak puas dengan Romahurmuziy yang mendukung Jokowi. Kader PPP dan basis masa kepemudaan mereka yakni Gerakan Pemuda Kakbah (GPK) di kawasan Yogyakarta dan Kedu, misalnya, condong ke Prabowo Subianto.
Tidak heran jika konflik yang berakar dari elite politik partai Kakbah tersebut merembet ke akar rumput. Beberapa kali massa pendukung Romahurmuziy dan Djan Faridz maupun PPP yang tidak mendukung Jokowi saling berhadapan di kedua daerah tersebut.
Akibatnya pada Pemilu 2019, suara PPP tergerus cukup signifikan. Apalagi, dalam perjalanan Pemilu 2019, Romahurmuziy ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Suara PPP anjlok cukup jauh dan hampir saja tidak lolos parliamentary threshold.
Suharso Monoarfa kemudian mengambil alih kendali PPP. Semula jabatannya hanya pelaksana tugas. Pada tahun 2020 dia terpilih sebagai Ketua Umum PPP. Suharso pada tahun lalu juga mencoba untuk menjembatani dua kubu yang sedang bertikai.
Namun pada tahun 2022, tiga anggota Mahkamah Partai memutuskan untuk mencopot Suharso dengan dalih pernyataannya tentang 'amplop kyai'.
Prospek Suara PPP
Rentetan konflik internal menjadi ujian bagi PPP di tengah persiapan untuk menghadapi Pemilu 2024. PPP seperti berada di persimpangan jalan yakni antara menyelesaikan konflik di lingkaran elite atau tetap maju dengan risiko terpental dari parlemen Senayan.
Hasil sigi Lembaga Survei Indonesia (LSI) menempatkan elektabilitas PPP di angka 4,2 persen. Capaian ini memang lebih baik dibandingkan Partai NasDem yang anjlok ke angka 4 persen atau PAN yang justru terpental dari Senayan karena elektabilitasnya hanya 2 persenan. Namun jika dibandingkan PKB dan PKS, elektabilitas PPP bagai panggang jauh dari api.
PKS berada di atas PPP dengan tingkat keterpilihan sebanyak 6 persen. PKB lebih mujur lagi, dengan basis suara kalangan Nahdliyin, partai besutan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin diprediksi akan memperoleh 6,6 persen suara.
Sementara itu, hasil sigi SMRC justru memberi kabar yang lebih buruk. Elektabilitas PPP hanya 2,7 persen. Ini artinya jika mengacu kepada hasil survei tersebut, PPP dipastikan tidak memenuhi parliamentary threshold atau ambang batas parlemen di angka 4 persen.
Suara PPP jika mengacu ke survei SMRC bahkan kalah dibandingkan dengan Partai Perindo, partai baru non parlemen, besutan konglomerat Hary Tanoesoedibjo. Elektabilitas Perindo tembus 3 persen.
Kalau hal tersebut terjadi, akan menjadi sejarah bagi PPP, karena untuk pertama kalinya mereka akan absen dari parlemen sejak Pemilu 1977.
Jejak Suara PPP
Terus tergerusnya suara PPP ini tentu ironi. Pasalnya, PPP sempat menjadi rumah besar bagi kelompok politik Islam. Pada masa Orde Baru, suara PPP bahkan selalu berada di peringkat kedua di bawah Golkar.
PPP merupakan fusi dari berbagai macam ideologi politik maupun partai politik yang berlandaskan Islam. Fusi ini terjadi seiring dengan penerapan 'politik massa mengambang' yang dijalankan oleh Ali Moertopo, saat rezim Orde Baru sedang mengonsolidasikan kekuasan pada 1970-an silam.
Kendati demikian, fusi partai Islam itu tidak serta merta menjadikan PPP sebagai pemenang Pemilu. Suara PPP selalu berada di bawah superioritas Golkar.
Pada pemilu 1977, misalnya, PPP hanya berhasil meraup suara sebanyak 99 kursi atau 27,5 persen dari 360 kursi parlemen. Angka ini jauh di bawah Golkar yang memperoleh 232 kursi atau 64,4 persen suara. PDI adalah cerita lain dalam sejarah Orde Baru. Partai ini selalu memperoleh suara paling sedikit dalam setiap Pemilu berlangsung.
Pada tahun 1982, suara PPP justru tergerus. Partai ini hanya memperoleh 94 kursi atau turun sebanyak 5 kursi. Demikian juga dengan PDI yang turun dari 29 menjadi 24 kursi. Suara beralih ke Golkar yang naik 10 kursi menjadi 242.
Suara PPP kembali tergerus pada pemilu 1987 menjadi 61 kursi atau anjlok menjadi 15,2 persen kursi di parlemen. Suara PPP digerus oleh melonjaknya suara PDI yang naik menjadi 40 kursi akibat Megawati Effect.
Pada dekade 1990-an, suara PPP membaik. Era keterbukaan menggerus suara Golkar sebagai penguasa. Pada pemilu 1992, PPP memperoleh kursi sebanyak 62 atau sebanyak 15,5 persen dari 400 kursi.
PDI menjadi partai yang paling banyak memperoleh swing voters dari Golkar dengan perolehan 56 kursi atau mampu tembus di angka 14 persen. Suara Golkar tergerus menjadi 282 kursi.
Menariknya, suara PPP di Pemilu 1997 kembali melonjak. PPP memperoleh sebanyak 89 kursi atau 20,9 persen dari 425 kursi. Melonjaknya suara PPP terjadi usai represi pemerintah Orde Baru terhadap PDI pro Mega (Megawati Soekarnoputri). Terutama setelah peristiwa 27 Juli 1996 atau Kuda Tuli.
Golkar suaranya kembali naik menjadi 325 kursi karena mendapat sokongan militer dan penguasa. Sementara PDI harus puas di peringkat buncit. Kursinya hanya tersisa sebanyak 11 di DPR akibat represi Orde Baru.
Pada awal reformasi dengan sistem multi partai, nasib PPP sebenarnya lebih baik. Pada Pemilu 1999, mereka mendapat kursi sebanyak 58, Pemilu 2004 58 suara, Pemilu 2009 turun menjadi 38 suara, tahun 2014 39 kursi.
Namun pada Pemilu 2019, suara PPP anjlok menjadi 29 kursi atau turun 20 kursi. Pemicunya tentu karena kisruh dan konflik internal.