Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kisruh Internal Belum Beranjak dari Partai Kakbah

Sejak reformasi bergulir PPP selalu dilanda konflik suksesi kepemimpinan. Terbaru, adalah pelengseran Suharso Monoarfa dari kursi Ketua Umum Partai Kakbah.
Partai Persatuan Pembangunan./Ilustrasi
Partai Persatuan Pembangunan./Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA – Pagi kemarin, kabar mengagetkan datang dari Partai Persatuan Pembangunan atau PPP. Partai berlambang Kakbah itu tiba-tiba mengumumkan suksesi. 

Suharso Monoarfa, yang memimpin sejak tahun 2020 lalu dilengserkan oleh tiga elite Mahkamah Partai. Padahal, hari sebelumnya tidak ada tanda-tanda rencana pergantian kepemimpinan di partai tersebut.

Muhamad Mardiono, sosok pengusaha yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), kemudian ditunjuk sebagai pelaksana tugas alias PLT Ketua Umum PPP. Konon, suksesi kepemimpinan dari Suharso kepada Mardiono dilandasi oleh kepentingan persiapan Pemilu 2024.

"Menyepakati usulan 3 Pimpinan Majelis untuk memberhentikan Saudara Suharso Monoarfa dari jabatan Ketua Umum DPP PPP masa bakti 2020-2025," ungkap Wakil Sekretaris Majelis Pertimbangan DPP PPP Usman M. Tokan dalam keterangan tertulis, Senin (5/9/2022).

Pelengseran Suharso adalah kelanjutan dari kisruh di internal PPP beberapa waktu lalu. Pada 22 Agustus 2022 tiga pimpinan Majelis Partai yakni Ketua Majelis Syariah Mustofa Aqil Siraj, Ketua Majelis Perimbangan Muhammad Mardiono, dan Ketua Majelis Kehormatan Zarkasih Nur mengeluarkan surat yang meminta Suharso mundur.

Permintaan tersebut buntut dari pidato Suharso dalam forum pendidikan anti korupsi yang diselenggarakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 15 Agustus 2022 yang menyinggung tentang 'amplop kyai'.

Pernyataan 'amplop kyai' Suharso tentu membuat elite PPP atau kalangan Islam tradisional di partai itu geram. Mereka khawatir hal itu semakin menggerus suara PPP yang memang sudah tidak seberapa. Apalagi, PPP adalah partai yang erat dengan basis pemilih Islam tradisional.

Sejumlah lembaga survei bahkan memperkirakan, PPP sulit bersaing dengan partai-partai lainnya, pun dengan partai berbasis Islam. 

Di basis pemilih yang mayoritas kalangan Islam tradisional atau NU, mereka harus bersaing dengan PKB. Sementara di kalangan pemilih Islam modernis, akan sulit bersaing dengan PKS yang memiliki kader yang cukup loyal.

Survei LSI, misalnya, elektabilitas PPP hanya di angka 4,2 persen. Capaian ini memang lebih baik dibandingkan Partai NasDem yang anjlok ke angka 4 persen atau PAN yang justru terpental dari Senayan karena elektabilitasnya hanya 2 persenan. Namun jika dibandingkan PKB dan PKS, elektabilitas PPP bagai panggang jauh dari api.

PKS berada di atas PPP dengan tingkat keterpilihan sebanyak 6 persen. PKB lebih mujur lagi, dengan basis suara kaum Nahdliyin, partai besutan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin diprediksi akan memperoleh 6,6 persen suara.

Sementara itu, hasil sigi SMRC justru memberi kabar yang lebih buruk. Elektabilitas PPP hanya 2,7 persen. Itu artinya jika mengacu kepada hasil survei tersebut, PPP dipastikan tidak memenuhi parliamentary threshold atau ambang batas parlemen di angka 4 persen. Kalau ini terjadi, akan menjadi sejarah bagi PPP, karena untuk pertama kalinya mereka akan absen dari parlemen sejak Pemilu 1977.

Suara PPP bahkan kalah dibandingkan dengan Partai Perindo, partai baru non parlemen, besutan konglomerat Hary Tanoesoedibyo. Elektabilitas Perindo tembus 3 persen.

Jejak Suara PPP

Terus tergerusnya suara PPP ini tentu ironi. Pasalnya, PPP sempat menjadi rumah besar bagi kelompok politik Islam. Pada masa Orde Baru, suara PPP bahkan selalu berada di peringkat kedua di bawah Golkar.

PPP merupakan fusi dari berbagai macam ideologi politik maupun partai politik yang berlandaskan Islam. Fusi ini terjadi seiring dengan penerapan 'politik massa mengambang' yang dijalankan oleh Ali Moertopo, saat rezim Orde Baru sedang mengonsolidasikan kekuasan pada 1970-an silam.

Kendati demikian, fusi partai Islam itu tidak serta merta menjadikan PPP sebagai pemenang Pemilu. Suara PPP selalu berada di bawah superioritas Golkar.

Pada pemilu 1977, misalnya, PPP hanya berhasil meraup suara sebanyak 99 kursi atau 27,5 persen dari 360 kursi parlemen. Angka ini jauh di bawah Golkar yang memperoleh 232 kursi atau 64,4 persen suara. PDI adalah cerita lain dalam sejarah Orde Baru. Partai ini selalu memperoleh suara paling sedikit dalam setiap Pemilu berlangsung.

Pada tahun 1982, suara PPP justru tergerus. Partai ini hanya memperoleh 94 kursi atau turun sebanyak 5 kursi. Demikian juga dengan PDI yang turun dari 29 menjadi 24 kursi. Suara beralih ke Golkar yang naik 10 kursi menjadi 242.

Suara PPP kembali tergerus pada pemilu 1987 menjadi 61 kursi atau anjlok menjadi 15,2 persen kursi di parlemen. Suara PPP digerus oleh melonjaknya suara PDI yang naik menjadi 40 kursi akibat Megawati Effect.

Pada dekade 1990-an, suara PPP membaik. Era keterbukaan menggerus suara Golkar sebagai penguasa. Pada pemilu 1992, PPP memperoleh kursi sebanyak 62 atau sebanyak 15,5 persen dari 400 kursi. 

PDI menjadi partai yang paling banyak memperoleh swing voters dari Golkar dengan perolehan 56 kursi atau mampu tembus di angka 14 persen. Suara Golkar tergerus menjadi 282 kursi. 

Menariknya, suara PPP di Pemilu 1997 kembali melonjak. PPP memperoleh sebanyak 89 kursi atau 20,9 persen dari 425 kursi. Melonjaknya suara PPP terjadi usai represi pemerintah Orde Baru terhadap PDI pro Mega (Megawati Soekarnoputri). Terutama setelah peristiwa 27 Juli 1996 atau Kuda Tuli.

Golkar suaranya kembali naik menjadi 325 kursi. Sementara PDI harus puas di peringkat buncit. Kursinya hanya tersisa sebanyak 11 di DPR akibat represi Orde Baru.

Pada awal reformasi dengan sistem multipartai, nasib PPP sebenarnya lebih baik. Pada Pemilu 1999, mereka mendapat kursi sebanyak 58, Pemilu 2004 58 suara, Pemilu 2009 turun menjadi 38 suara, tahun 2014 39 kursi.

Namun pada Pemilu 2019, suara PPP anjlok menjadi 29 kursi atau turun 20 kursi. Pemicunya karena kisruh internal.

Bukan Dualisme

Kisruh internal memang sering terjadi di tubuh PPP. Pada Pilpres 2014 lalu terjadi konflik antara Suryadarma Ali dan Romahurmuziy. Setelah Suryadarma Ali dibui, muncul konflik antara Romahurmuziy dengan Djan Faridz.

Konflik dua kubu di PPP akhirnya sedikit reda ketika Suharso Monoarfa. Suharso menggantikan Romahurmuziy karena ditangkap KPK.

Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani memastikan tak ada dualisme di dalam PPP meski Suharso Monoarfa dilengserkan dari jabatannya sebagai ketua umum (ketum).

“Ya enggak lah,” jawab Arsul kepada awak media ketika ditanya mengenai kemungkinan adanya dualisme di PPP, Senin (5/9/2022).

Menurutnya, pelengseran Suharso dari jabatan ketum sudah sesuai AD/ART. Apalagi, ungkapnya, semua pengurus harian PPP setuju memberhentikan Suharso seperti usulan Mahkamah Partai.

Mahkamah Partai memang melakukan rapat pada 2 - 3 September 2022. Hasilnya, mereka mengeluarkan Pendapat Mahkamah Partai untuk memberhentikan Suharso dari jabatan ketum PPP.

“Kami itu kemarin siang rapat pengurus harian. Sekitar 45 pengurus harian itu hadir 30 pengurus harian. Semuanya sepakat, tidak ada yang keberatan dengan yang diusulkan [Mahkamah Partai],” ungkap Arsul.

Selain itu, lanjut Arsul, dalam Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) semua pengurus partai di daerah ingin agar para pemimpin partai tak merangkap jabatan. Seperti diketahui, selain menjabat ketum PPP, Suharso juga merupakan Ketua Bappenas.

“Kita harus melakukan pemisahan fungsi, pokoknya yang di partai itu fokus ngurus partai,” ujarnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper