Bisnis.com, JAKARTA—Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali harus berhadapan langsung dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) setelah menetapkan Komisaris Jenderal Polisi (Komjen Pol) Budi Gunawan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi.
Polri yang biasa menjadi tergugat dalam gugatan praperadilan, saat ini harus merasakan posisi sebagai pihak yang mengajukan gugatan praperadilan terkait penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka.
Tidak hanya itu, Budi Gunawan juga melaporkan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto kepada Kejaksaan Agung, karena diduga telah menyalahgunakan kewenangannya sebagai pimpinan KPK. Alasannya, surat penetapan calon tunggal Kapolri sebagai tersangka hanya dibubuhi tanda tangan kedua orang tersebut.
Polemik calon Kapolri ini membuat sejumlah pihak terakhir akan memunculkan konflik cicak vs buaya baru. Emerson Yuntho, Koordinator Indonesia Corruption Watch, mengatakan kasus reaksi Polri terhadap penetapan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka, dapat memicu konflik yang lebih luas dibandingkan dengan persoalan sebelumnya.
Emerson menuturkan KPK kali ini harus berhadapan dengan calon Kapolri yang selangkah lagi dilantik dan resmi menduduki posisi nomor 1 di Polri. Hal itu lah yang dipercaya dapat memicu konflik yang lebih luas dibandingkan saat dua pimpinan KPK berhadapan dengan Susno Duadji yang saat itu berpangkat jenderal bintang tiga.
“Konfliknya lebih luas lagi dibandingkan dengan cicak melawan buaya jilid satu, yang berdampak pada kriminalisasi dua pimpinan KPK,” katanya di Jakarta, Kamis (22/1).
Emerson meminta Presiden Joko Widodo segera turun tangan menengahi persoalan yang melibatkan dua institusi penegak hukum itu. Presiden juga diminta untuk melindungi KPK dari upaya pelemahan, karena lembaga tersebut saat ini menjadi satu-satunya yang dipercaya publik dalam memberantas korupsi.
KPK menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka, karena diduga menerima hadiah atau janji saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006, dan jabatan lainnya di kepolisian.
KPK menjerat Budi Gunawan dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b, Pasal 5 ayat (2), serta Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Apabila terbukti melanggar pasal-pasal tersebut, Budi Gunawan diancam dengan hukuman penjara maksimal seumur hidup.
Gugatan praperadilan yang dilakukan Mabes Polri sendiri dilakukan, karena Budi Gunawan masih tercatat sebagai perwira tinggi aktif Polri. Saat masih menjadi Kapolri, Sutarman pun beberapa kali menegaskan Mabes Polri melalui Divisi Hukum akan memberikan bantuan hukum kepada yang bersangkutan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebelumnya yakin kasus tersebut tidak akan menyulut konflik cicak vs buaya jilid baru. Alasannya, KPK dan Polri merupakan dua lembaga penegak hukum yang saling mendukung dalam menjalankan tugasnya memberantas korupsi.
“KPK banyak di isi oleh orang dari kepolisian. Hampir separuh orang di KPK itu dari kepolisian, masa masih dapat memunculkan ketegangan,” ujarnya.
Tedjo Edhy Purdijatno, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, juga berharap kasus yang menjerat Komjen Pol Budi Gunawan tidak memunculkan konflik baru di antara KPK dan Polri.
Dia meyakini Polri tidak akan menarik penyidiknya yang bertugas di KPK, seperti saat lembaga pemberantas korupsi itu menetapkan Inspektur Jenderal Polisi (Irjen Pol) Djoko Susilo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Korps Lalu Lintas sebagai tersangka. Menurutnya, kedua lembaga penegak hukum tersebut telah berjalan secara profesional, dan terus belajar dari pengalaman masa lalu.
Istilah cicak melawan buaya sendiri pertama kali muncul dari Susno Duadji saat menjabat sebagai Kepala Badan Reserse dan Kriminal. Saat itu Susno marah, karena KPK menyadap percakapannya tentang janji hadiah senilai Rp10 miliar jika berhasil mencairkan deposito Boedi Sampoerna.
Kepolisian pun memeriksa Chandra Hamzah yang saat itu menjadi Wakil Ketua KPK, karena diduga melakukan penyadapan yang tidak sesuai dengan prosedur. Tidak hanya disitu, Polri pun saat itu menetapkan Chandra Hamzah dan Bibit S Riyanto sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap oleh Anggodo Widjojo.
Anggodo merupakan adik dari Anggoro Widjojo yang saat itu menjadi tersangka kasus dugaan korupsi alat komunikasi di Departemen Kehutanan.
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang ketika itu menjadi Presiden pun akhirnya membentuk Tim 8 untuk mencari fakta dalam kasus tersebut. Tim yang dipimpin Adnan Buyung Nasution itu menghasilkan putusan akhir yang menyatakan kepolisian tidak memiliki bukti dan dasar hukum untuk menjerat Bibit-Chandra.
Konflik antara KPK dengan Polri kembali memanas saat KPK menetapkan Irjen Pol Djoko Susilo sebagai tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang dalam proyek pengadaan alat simulator mengemudi kendaraan bermotor untuk ujian surat izin mengemudi di Korlantas Polri saat 2011.
Djoko Susilo menjadi jenderal pertama dari kepolisian yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Aksi tersebut direspon dengan penarikan besar-besaran penyidik Polri yang bertugas di KPK oleh Mabes Polri.
Bahkan, puluhan anggota polisi sempat mendatangi Gedung KPK untuk menangkap Novel Baswedan, salah seorang penyidik KPK atas tuduhan penganiayaan yang terjadi delapan tahun sebelumnya.
SBY ketika itu kembali turun tangan untuk menengahi konflik yang terjadi, dan menilai proses penetapan Novel sebagai tersangka oleh Polri dilakukan dengan cara dan waktu yang tidak tepat.