Bisnis.com, JAKARTA—Wakil Ketua Komisi XI DPR-RI Harry Azhar Azis meminta para penggugat UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memahami historis keberadaan lembaga negara itu, sebelum meminta OJK dibubarkan.
Harry yang memberikan keterangan dalam sidang pleno perdana terkait uji materi UU OJK di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (5/5/2014), menyatakan para penggugat tidak mengerti historis OJK.
“Mereka [para penggugat] bilang akan terjadi penumpukan kekuasaan di OJK. Justru sebaliknya, keberadaan OJK memisahkan antara kebijakan moneter di Bank Indonesia dengan tugas pengawasan perbankan,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (5/5/2014).
Harry menyebutkan sebelum ada OJK, justru kekuasaan menumpuk di Bank Indonesia (BI). BI terbukti melakukan kegagalan pada 1998 yang melahirkan kebijakan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
“Sekarang dengan adanya OJK, tidak hanya perbankan yang diawasi, tapi seluruh sektor jasa keuangan termasuk pasar modal dan industri keuangan nonbank [IKNB]. Justru ini bagus karena pengawasan jadi komprehensif dan terintegrasi,” ujarnya.
Harry menambahkan terkait kata-kata “independensi” OJK yang dipersoalkan para penggugat, menurutnya justru itu sudah diamanatkan dari UU No.3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia.
“Model independensi OJK dan BI itu beda. Kalau OJK meski independen tetap ada koordinasi dengan dua otoritas lain, yaitu otoritas fiskal dan moneter melalui anggota ex-officio,” jelasnya.
Terkait pungutan yang dilakukan OJK, Harry menegaskan lembaga lain seperti LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) juga sama-sama melakukan pungutan.
“Jadi, pandangan DPR adalah pertama, para penggugat tidak punya legal standing. Kedua, kami meminta kepada MK bahwa UU OJK adalah tetap UU yang mengikat dan berkekuatan hukum tetap,” tegasnya.