Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan pengumpulan uang diyat itu, harus dibayar sebelum 5 April 2014. Saat ini pemerintah sedang mengupayakan negosiasi intensif untuk menurunkan angka diyat.
Untuk menekan angka diyat, paparnya, pemerintah melalui jaringan kedutaan besar di Arab Saudi masih melakukan negosiasi intensif dengan keluarga dan kerajaan Arab Saudi untuk menurunkan besaran angka ganti rugi tersebut.
“Kita negosiasi sampai besaran diyat tersebut turun, karena terlalu besar,” katanya kepada Bisnis.com, Senin (24/3/2014).
Selain negosiasi dengan keluarga, ungkapnya, negosiasi juga dilakukan melalui jalur pemerintahan. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengirim surat permohonan keringanan diyat kepada Raja Arab.
“Namun informasi yang kami peroleh dari kalangan kedutaan, raja hanya pada tataran mengimbau keluarga untuk menurunkan tuntutan. Penentuan diyat tersebut merupakan wewenang keluarga.”
Menurut Muhaimin, uang diyat yang dibebankan kepada satinah terlalu besar dan tidak rasional. “Untuk kasus yang sama, biasanya diyat hanya setara dengan Rp1 miliar. Untuk Darsem, yang diancam hukuman mati sebelumnya saja, kita memenuhi telah membayar Rp4 miliar,” katanya.
Dalam kasus ini, jelas Muhaimin, pemerintah bukan tidak mau memenuhi diyat tersebut. Namun, jika ini dikabulkan oleh Indonesia, diyat untuk kasus lain dengan ancaman hukuman mati akan semakin besar. “Jangan sampai, orang Arab menilai kita punya uang besar untuk membayar diyat.”
Berdasarkan data yang dihimpun Bisnis dari Kemenaketrans, Satinah bekerja di Al Gaseem Riyadh, Arab Saudi pada 2004 dengan melalui PT Djamin Harapan Abadi yang beralamat di Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Usai masa kontraknya habis, Satinah tidak memperpanjang kontraknya, namun kembali bekerja tanpa melalui prosedur yang ditetapkan.