Bisnis.com, LONDON - Aktifitas bisnis di negara berkembang melaju lambat pada Januari 2014, menembus level terendah selama 4 bulan terakhir.
Penurunan tersebut merupakan imbas dari anjloknya sektor jasa di kawasan Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan atau BRICS.
Survei HSBC atas indeks manufaktur dan jasa di negara berkembang menurun menjadi 51,4 pada Januari 2014. Angka itu berada di bawah rata-rata indeks pada 2013 yaitu 51,7 dan di bawah level 64,1 pada Januari 2012.
Meskipun terbilang menurun, indeks manufaktur dan jasa di negara berkembang masih menunjukkan ekspansi karena berada di atas 50.
Berdasarkan data yang dihimpun dari 8.000 perusahaan di 17 negara, survei mengindikasikan tanda penguatan dan pemulihan di beberapa negara sedangkan China justru jatuh di bawah 50. Manufaktur Brasil tercatat tumbuh lambat disusul dengan Rusia dan Indonesia.
Kondisi sebaliknya terjadi pada India, Polandia, Taiwan, dan Meksiko. Keempat negara itu menunjukkan penguatan pada manufaktur dan jasa.
Aktifitas pada Januari 2014 merupakan indeks terendah di negara berkembang selama 6 bulan. India dan Brazil menurun, sedangkan pertumbuhan China dan Rusia masih lemah.
Kepala Riset Negara Berkembang HSBC Pablo Goldberg mengatakan data yang ada menunjukkan pola yang jelas dalam pemulihan antara negara berkembang.
“Di antara pemenang, kami melihat beberapa negara yang menguat akibat pemulihan ekonomi di negara maju misalnya Meksiko, Polandia, dan Republik Ceko,”ungkapnya seperti dikutip Reuters, Senin (10/2/2014).
Menurutnya, pola berbeda dapat dilihat dari kontraksi di Turki, Brasil, dan Indonesia. Ketiga negara tersebut menerapkan pengetatan moneter akibat pengurangan stimulus oleh The Fed.
Beberapa negara berkembang antara lain Turki, India, Afrika Selatan, dan Brasil menaikkan suku bunga acuan beberapa pekan terakhir sehingga menanggung risiko dalam perlambatan perekonomian.
Laporan HSBC menyebutkan tekanan lainnya antara lain inflasi yang melaju cepat dan pelemahan nilai tukar mampu memicu kenaikan biaya produksi manufaktur.
“Perusahaan di Turki mengalami kenaikan tajam pada harga input akibat depresiasi Lira,” ungkap HSBC.