Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Anggota DPR Emir Moeis meminta Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menolak dakwaan Jaksa Penuntut KPK kepada dirinya, dalam kasus dugaan suap pembangunan proyek PLTU Tarahan.
Permohonan itu, disampaikan Emir dalam pembacaan nota keberatan pribadinya, "Apakah Mungkin Seorang Izedrik Emir Moeis Mengintervensi Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk Memenangkan Alstom Power Incorporated dalam Tender Proyek PLTU Tarahan Lampung?" di sidang pengadilan Tipikor hari ini, Kamis (05/12).
Permohonan tersebut, menurutnya berdasarkan pertimbangan jika dakwaan jaksa yang menyebutkan dirinya telah menerima uang senilai US$423.985 dari PT Alstom Power Incorporate (Alstom Power Inc) Amerika Serikat dan Marubeni Incorporate Jepang, tidak didukung bukti yang kuat.
"Saya mohon kepada Majelis Hakim Tipikor yang mengadili perkara saya untuk menolak atau tidak menerima dakwaan Jaksa Penuntut Umum atas diri saya," katanya.
Apalagi, katanya, berdasarkan kesaksian 15 orang dan badan yang bersaksi dalam berita acara pemeriksaan, kompak menyebutkan tidak mengetahui peran dan keterlubatannya dalam perencaan dan pelaksanaan pengadaan dan pembangunan proyek tersebut.
Pembelaan lainnya, katanya, penentuan pemenang proyek PLTU Tarahan adalah Japan Bank For International Cooperation (JBIC). Keewenangan juga ada pada pengawas tambahan yaitu Tokyo Electric Power Services Co Ltd (TEPSCO) yang merupakan perusahaan konsultan dari Jepang. Maka seharusnya KPK memanggil pihak JBIC untuk mengonfirmasi hal tersebut.
Selain itu, Emir juga menegaskan bahwa pertemuan di Prancis dan Washington DC sama sekali tak membicarakan proyek PLTU Tarahan yang menjerat dirinya.
Kasus korupsi PLTU Tarahan sendiri terungkap setelah KPK berhasil mengembangkan kasus proyek CIS-RISI di PLN Distribusi Jakarta Raya (Disjaya) Tangerang yang menjerat Eddie Widiono.
Emir sendiri menjadi satu-satunya tersangka KPK dalam kasus itu. KPK mengaku masih melakukan penelusurn untuk mencari siapa pemberi suap yang dianggap bertanggung jawab. Emir didakwa dengan Pasal 12 huruf b dan Pasal 11 UU Nomor 31/1999 jo UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.