Bisnis.com, JAKARTA--Polisi dalam ‘bahaya!’ Begitu kira-kira kegalauan Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo beberapa hari terakhir ini.
Lantaran itu, dia mengeluarkan tiga perintah ‘antisipasi penyelamatan’ kepada seluruh anggotanya.
Pertama, tidak menggunakan atribut Polri saat dinas pada malam hari.
Kedua, anggota tidak boleh seorang diri saat pulang maupun pergi bertugas. termasuk tidak menggunakan kendaraan berplat nomor dinas.
Ketiga, meningkatkan pengamanan di setiap markas.
Perintah Kapolri tersebut diungkapkan oleh Wakil Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Wakapolda Metro Jaya), Brigadir Jenderal Polisi Sudjarno saat gelar pasukan pengamanan malam takbiran di Jakarta, Rabu (8/8/2013).
Apa yang menjadi pertimbangan orang normor satu di Polri hingga mengeluarkan perintah defensif? Betul, alasannya adalah korp baju coklat kini dalam ancaman teror penembak misterius
Indikasinya terjadinya beberapa kasus penembakan terhadap anggota polisi oleh orang tak dikenal dan hingga kini pelakunya belum berhasil diringkus. Kasus tersebut antara lain:
o 27 Juli 2013 terjadi penembakan terhadap Aipda Patah Saktiyono di Ciputat, Tangerang Selatan. Polantas tersebut ditembak oleh dua orang tak dikenal saat berangkat ke tempat kerjanya di Polsek Gambir, namun nyawanya berhasil diselamatkan.
o 6 Agustus 2013 empat orang pelaku kejahatan bersenjata tajam berupaya merampok dua anggota Polsek Kemayoran, Brigadir Polisi Elvin dan Brigadir Satu Ricky di Jalan Damar, Depan Gandhi School Kelurahan Kebon Kosong, Kemayoran, Jakarta Pusat. Namun seorang pelakunya berhasil ditembak mati.
o 7 Agustus 2013 Aiptu Dwiyatna tewas ditembak orang tak dikenal di Jalan Otista Raya, Ciputat, Tangerang Selatan. Pelakunya diduga juga dua orang
Di luar peristiwa yang mengancam nyawa Polisi, juga terjadi teror terhadap keamanan dan keteritban masyarakat (Kamtibmas) seperti:
* Ledakan bom di Vihara Ekayana Buddhist Center di Jl. Mangga II, Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada 4 Agustus 2013 malam. Ledakan ditempat ibadah ini hanya mengakibatkan seorang warga luka-luka.
* Pembakan halte bus Transjakarta di Cikoko dan Cawang Ciliwung. pada 9 Agustus sekitar pukul 01.30 WIB oleh orang tak dikenal.
* Penembakan pegawai Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan Agus Susatyo di jalan Taman Siswa Yogyakarta, di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, oleh orang tak dikenal pada 7 Agustus malam. Namun nyawa korban masih bisa diselamatkan, meski peluru menmbus dadanya.
AKSI TERORIS
Dari fenomena peristiwa yang terjadi secara beruntun tadi, anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Adrianus Meliala melihat aksi-aksi tersebut merupakan bagian dari gerakan teroris.
“Dari kelompok mana mereka, silakan Densus 88 membuka file-file yang ada,” ujarnya sebagaimana disiarkan Jaktv, Sabtu (10/8/2013) malam.
Menurut pakar kriminologi ini, teroris baik dari kelompok Cirebon, Solo hingga Poso merasa gerakan mereka selama ini kandas oleh Polri, khususnya, Densus 88, sehingga boleh jadi mereka ingin balas dendam kepada korp Bayangkara.
“Selain itu, mereka ingin menunjukkan eksistensi [melalui bom di vihara dan penembakan halte buyway] bahwa mereka masih ada. Gerakan teroris tidak mati,” paparnya.
Teror terhadap polisi dan aksi pengerusakan tempat ibadah maupun sarana umum boleh jadi memang dilakukan oleh kelompok teroris.
Pasalnya, setelah peledakan bom di Vihara Ekayana ditemukan secarak kertas bertuliskan: Kami balaskan teriakan muslim Rohingya di Arakan Myanmar.
Sasaran dan motivasi teroris Melayu boleh dibilang kini semakin tidak jelas. Mereka menyerang aparat keamanan, merusak tempat ibadah dan menghancurkan sarana umum, Hal ini jauh berbeda dari motivasi senior-senior mereka terdahulu yang mengedepankan misi jihad dan anti-Barat
Lantas bagaimana cara menghadapi mereka? Polri sebagai institusi negara tidak boleh kalah dengan teroris. Bukankah Densus 88 sudah membuktikan berhasil menggulung gembong-gembong teroris seperti Noordin M Top, Dulmatin, Umar Patek, Saefudin Zuhri dan Rois.
Oleh karena itu, perintah Kapolri agar para anggotanya bersikap defensif menghadapi teror orang tak dikenal terkesan menjadi pesan antiklimak.
Bagaimana mungkin kalau polisi saja yang dilengkapisenjata dan terlatih menembak diperintahkan untuk menghindari berhadapan dengan penembak misterius, lantas bagaimana dengan warga sipil yang tidak dibekalali perangkat beladiri?