Bisnis.com, JAKARTA — Kerugian yang didapat dari penggunaan perangkat lunak bajakan tak sekadar menimpa pengguna, tetapi ekosistem bisnis yang melingkupinya.
Keshav S. Dhakad, Assistant General Counsel, Digital Crime Unit, Microsoft Asia menyebutkan, malware yang menyerang komputer pengguna sofware ilegal itu berasal dari CD/DVD bajakan, produk sofware dan sistem operasi bajakan.
Menurutnya, interkoneksi melalui jaringan Internet telah menjadi sebuah kebiasaan, serta sudah menjadi kebutuhan dan keharusan. Berbagai aktivitas terjadi di dalamnya, seperti transformasi digital dari bisnis, menjaga keterikatan dengan customer, pengembangan SDM, hingga peningkatan sistem operasi.
Namun, masih banyak yang belum paham dengan teknik serangan dari penjahat siber baik melalui surel, serangan trojan, pembentukan backdoor, transaksi bitcoin, dan lainnya.
“Sebanyak 61% DVD/CD bajakan terinfeksi walware, produk sofware bajakan 42% terjangkit malware, sistem operasi ilegal 29% terjangkit malware, game dan apps 19%, dan bahkan sofware antivirus bajakan juga suah terinfeksi malware 17%,” katanya dalam Sosialisasi Kekayaan Intelektual yang diselenggarakan Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan(MIAP), Selasa (10/1/2017).
Baca Juga
Dalam studi terbaru berjudul Cybersecurity Risks from Non-Genuine Software dari Fakultas Teknik National University of Singapore (NUS) mencatat 92% perangkat komputer dan laptop yang menggunakan perangkat lunak palsu terinfeksi malware.
Studi yang diprakarsai oleh Microsoft ini diselesaikan pada Juni 2017 dan mencakup wilayah Asia Pasifik, dengan fokus pada risiko infeksi malware pada software dari penggunaan produk bajakan serta eksploitasi aktif oleh penjahat siber dari malware tersebut.
Studi ini mengambil 458 sampel dari delapan negara Asia Pasifik, seperti Indonesia, Srilanka dan Thailand. Sampel yang diambil dibagi menjadi 203 aktivitas unduh perangkat lunak bajakan, 90 unit komputer dan laptop yang menggunakan software bajakan, serta 165 CD dan DVD dengan perangkat lunak bajakan.
Dalam presentasinya, Keshav memaparkan software untuk aktivitas produktif menduduki peringkat teratas yang terinfeksi malware dengan persentase sebanyak 42%, diikuti operating system (29%), permainan dan aplikasi (19%) serta antivirus (17%).
Ketua MIAP Justisiari P. Kusumah mengatakan risiko besar bagi pengguna internet di Indonesia adalah serangan terhadap data nasabah, seperti yang saat ini tengah ditangani pihak Bareskrim Polri.
“Itu baru jual beli data nasabah, bagaimana kalau pelaksanaan transaksi juga bisa di-hack melalui infeksi malware? Ini bisa mengancam jaringan industri keuangan,” katanya.
Menurutnya, jika melihat kerugiannya, baik di tingkat konsumen atau kantor pemerintah sangat besar dan fatal, terbukti dengan berbagai penelitian kasus pelanggaran data secara global.
“Biaya untuk berinvestasi pada program perangkat lunak asli dan terbaru jauh lebih rendah dibandingkan dengan kerugian aktual yang dialami karena pencurian data rahasia dan informasi pribadi,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Brigjen Pol Agung Setya, Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri memperkirakan kerugian akibat penggunaan sofware ilegal mencapai triliunan rupiah.
“Semua yang menggunakan perangkat lunak palsu itu rugi. Memang murah yang palsu tetapi banyak hal tidak bisa sinkron dengan aplikasi yang kita perlu dan menjadi tidak optimal saat digunakan,” katanya.
Dalam penelitian LPEM UI 2014 berjudul Dampak Ekonomi Pemalsuan di Indonesia disebutkan dampak pemaluan pada perekonomian untuk produk software tercatat Rp3,62 triliun. Sementera itu, dari dampak perekonomian terbesar datang dari sektor pakaian dan barang dari kulit dengan nilai Rp41,58 triliun.
Dia menambahkan kerugian penggunaan perangkat lunak bajakan juga dapat berpotensi pada pencurian data.
“Ketika malware masuk ke sistem, lalu membekukan sistem, kemudian dibuat backdoor, bisa semaunya. Kemudian meminta tebusan. Kalau kita hitung secara total bisa triliunan,” tambahnya.