Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Beda Cara Xi Jinping dan Prabowo Hadapi 'Intimidasi Tarif' Donald Trump

China dan Indonesia memiliki cara yang berbeda dalam menghadapi tarif resiprokal Donald Trump.
Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping bersalaman saat bertemu di Balai Agung Rakyat, Beijing, China pada Sabtu (9/11/2024). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)
Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Xi Jinping bersalaman saat bertemu di Balai Agung Rakyat, Beijing, China pada Sabtu (9/11/2024). (ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Bisnis.com, JAKARTA -- China dan Indonesia adalah dua negara yang terimbas kebijakan tarif timbal balik atau reciprocal tariff Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Meski akhirnya ada penundaan, kecuali China, kedua negara memiliki perbedaan pendekatan dalam merepons proteksionisme Trump. 

China telah menegaskan akan melawan sampai akhir sikap yang mereka sebut sebagai 'intimidasi ekonomi' oleh Trump. Pemimpin China, Xi Jinping, enggan menuruti keinginan Trump ke meja perundingan. Xi bahkan dengan nada satire menegaskan: "Tidak ada pemenang dalam perang tarif, dan melawan dunia hanya akan mengakibatkan isolasi diri."

Sebaliknya, sikap kontras justru diperlihatkan oleh Presiden Prabowo Subianto, alih-alih melawan, dia lebih memilih cara persuasif, mengutamakan negosiasi dibanding retaliasi supaya tidak berdampak buruk ke ekonomi domestik. Prabowo bahkan menginstruksikan relaksasi besar-besaran untuk barang impor demi menghindar dari hukuman tarif AS.

Walaupun di sisi lainnya, seperti diberitakan banyak media, Trump dengan nada mengejek mengungkapkan banyaknya negara yang memohon-mohon untuk melakukan negosiasi. Dia berujar: "Kissing my a**."

Perbedaan sikap China dan Indonesia dalam menghadapi kebijakan tarif Donald Trump bisa dipahami. China adalah kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Raksasa yang menguasai rantai pasok atau supply chain global.

Volume perdagangan China bahkan melampaui AS dan mendominasi perdagangan global. Barang-barang made in China tersebar di mana-mana. Ekonomi China juga semakin menggurita dengan keberadaan proyek one belt one road atau jalur sutra baru. China adalah negara eksportir terbesar di dunia. 

Pemimpin China Xi Jinping./Reuters
Pemimpin China Xi Jinping./Reuters

Pada tahun 2024, misalnya, data Customs China menunjukkan bahwa, volume perdagangan China mencapai US$6,16 triliun. Ekspor mencapai US$3,57 triliun dan impor sebesar US$2,58 triliun. Surplus neraca perdagangan China mencapai US$992,1 miliar.

Sementara itu, total volume perdagangan AS pada 2024, kalau mengutip data Cencus.gov, hanya mencapai US$5,3 triliun. Angka ini terdiri dari ekspor sebesar US$2 triliun dan impor sebesar US$3,26 triliun.

Yang membedakan AS dengan China, defisit neraca perdagangan mereka mencapai US$1,2 triliun dan China menjadi salah satu penyumbang terbesarnya di angka US$295,4 miliar.

Dengan kekuatan perdagangan yang cukup besar, wajar jika China kemudian memutuskan untuk melawan Donald Trump. Mereka bahkan tidak sudi untuk memulai negosiasi. Pada hari ini, misalnya, China resmi menaikkan tarif impor untuk semua barang dari Amerika Serikat menjadi 125% dan akan berlaku besok, Sabtu (12/4/2025).

Dilansir dari Bloomberg, langkah tersebut dilakukan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan tarif impor AS terhadap China menjadi 145%. Kementerian Keuangan China menjelaskan bahwa negaranya akan mengabaikan tarif lebih lanjut dari AS terhadap produk-produk Negeri Tirai Bambu.

"Mengingat tidak ada lagi kemungkinan penerimaan pasar untuk barang-barang AS yang diekspor ke China berdasarkan tingkat tarif saat ini, jika pihak AS kemudian terus mengenakan tarif pada barang-barang China yang diekspor ke AS, pihak China tidak akan memperhatikannya," tertulis dalam keterangan resmi Kementerian Keuangan China, dilansir dari Bloomberg pada Jumat (11/4/2025).

Kebijakan tarif 125% itu adalah respons China terhadap Gedung Putih yang memberikan keterangan bahwa tarif impor atas barang-barang China adalah minimal 145%, bukan lagi 125% seperti yang diumumkan sebelumnya.

New York Times melaporkan bahwa angka 145% hanyalah tarif dasar dan bukan batas atas. Tarif tersebut belum termasuk kebijakan bea masuk lain yang sebelumnya telah diterapkan Trump, termasuk tarif 25% terhadap baja, aluminium, kendaraan, dan suku cadangnya; tarif hingga 25% terhadap berbagai produk China yang dikenakan selama masa jabatan pertamanya, serta tarif beragam terhadap produk tertentu karena pelanggaran aturan perdagangan AS.

Trump mengakui bahwa kebijakan tarifnya terhadap China dapat menimbulkan masalah transisi di tengah kekacauan pasar, namun ia tetap yakin strategi itu akan membawa hasil positif dalam jangka panjang.

"Akan ada biaya dan hambatan dalam masa transisi, tapi pada akhirnya ini akan menjadi sesuatu yang indah," ujar Trump dalam rapat kabinet, dilansir Reuters.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia sejauh ini masih mengedepankan sikap persuasif dibanding mengambil jalan konfrontatif seperti China. Presiden Prabowo bahkan telah mengungkapkan sejumlah strateginya untuk menghindari pengenaan tarif oleh AS.

Sejumlah kebijakan yang dianggap menyumbat impor hingga isu soal konten lokal bakal ditinjau ulang. 

Intinya, Indonesia rela melakukan apapun supaya Trump tidak jadi menerapkan tarif sebesar 32%. Apalagi, neraca perdagangan Indonesia dengan AS tercatat surplus. Indonesia, sebagai negara berkembang, tidak mau sikap yang reaktif justru menjadi bumerang bagi perekonomian nasional.

Menteri Luar Negeri (Menlu) Sugiono menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah mengajukan permohonan agar Presiden Prabowo Subianto dapat bertemu dengan Presiden AS Donald Trump. 

Bahkan, Sugiono menyebut permintaan pertemuan kedua kepala negara ini dilakukan sebelum pengumuman kebijakan tarif impor dari AS. Pertemuan tersebut direncanakan dalam konteks mempererat hubungan bilateral antara kedua negara.

“Kami sudah melayangkan permintaan pertemuan dengan presiden Trump itu beberapa waktu yang lalu jauh sebelum tarif dan tentu saja dalam kaitannya dengan hubungan bilateral antar kedua negara, sekarang ada perkembangan situasi yang kita lihat,” ucapnya kepada wartawan dikutip melalui Youtube Sekretariat Presiden, Jumat (11/4/2025).

Presiden Prabowo Subianto./Ist
Presiden Prabowo Subianto./Ist
 

Terkait dengan situasi terbaru soal tarif perdagangan, Sugiono menyatakan bahwa topik tersebut kemungkinan besar akan turut dibahas jika pertemuan dengan Trump terjadi. “Dengan perkembangan ini, saya kira itu juga pasti akan dibicarakan. Kita lihat saja nanti,” katanya. 

Sugiono juga mengonfirmasi bahwa pihak Kementerian Luar Negeri sudah mengirimkan surat permintaan resmi sejak awal masa jabatan Presiden Trump. 

“Sebelum ada [tarif Trump], sesaat setelah Presiden Trump dilantik waktu itu,” jelasnya.

Dia menambahkan bahwa tim dari Indonesia juga telah bersiap untuk berangkat ke AS dalam waktu dekat sebagai bagian dari upaya diplomasi menyikapi kebijakan perdagangan baru yang diumumkan pemerintah AS.

Ketika ditanya apakah sudah ada balasan dari pihak Gedung Putih, Sugiono belum memberikan jawaban pasti. "Kalau sudah [ada jawaban dari Gedung Putih], nanti dikasih tahu,” pungkas Sugiono.

Risiko Buat AS

Sementara itu, Brian Coulton, kepala ekonom di lembaga Fitch Ratings menyebut, Trump sedang bermain api dengan kebijakan tarifnya. Menurutnya, dominasi industri China tidak akan mudah digulingkan.

“Dalam beberapa dekade terakhir, China telah membangun jaringan logistik dan infrastruktur yang menakjubkan [di sekitar sektor manufaktur utamanya]. Mereka sangat produktif," kata Coulton.

Coulton melanjutkan, biaya upah per jam produksi di AS sekitar $30, sedangkan di China sekitar $12. Dengan kata lain, biaya tenaga kerja jauh lebih rendah.

Dia menuturkan bahwa sektor elektronik dan digital AS khususnya sangat rentan terhadap putaran tarif terbaru Trump terhadap China. Dia mengatakan industri-industri tersebut mengimpor barang setengah jadi dari China.

"Apple, misalnya, berisiko tinggi," kata Coulton.

Coulton menuturkan, pertanyaan yang membayangi industri-industri tersebut adalah apakah mereka akan menanggung biaya yang lebih tinggi melalui margin keuntungan yang lebih rendah atau meneruskannya kepada konsumen. 

Dia menilai, kemungkinan besar kedua hal itu akan terjadi secara kombinasi. Hal tersebut berarti adanya tekanan pada aktivitas bisnis dan biaya rumah tangga yang lebih tinggi.

Coulton memperkirakan inflasi AS akan naik hingga di atas 4$ tahun ini, dari 2,8% saat ini, dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) akan melambat.

Selama perang dagang pertama Trump dengan China pada 2018, Dewan Bisnis AS-China memperkirakan bahwa 245.000 pekerjaan di AS hilang. Karena cakupan tarif saat ini lebih besar, wajar untuk berasumsi bahwa lebih banyak pekerjaan akan hilang.

“Tarif Trump sangat dramatis … akan menjadi kejutan bagi ekonomi AS,” kata Coulton.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper