Bisnis.com, JAKARTA - Ukraina melarang penggunaan aplikasi pesan Telegram pada perangkat resmi yang digunakan oleh pejabat pemerintah, personel militer, dan pekerja penting, karena meyakini Rusia dapat memata-matai pesan dan pengguna.
Dalam pernyataan resminya, Dewan Keamanan dan Pertahanan Nasional mengumumkan pembatasan tersebut setelah Kyrylo Budanov, kepala badan intelijen militer GUR Ukraina, mengungkapkan bukti kepada dewan mengenai kemampuan dinas khusus Rusia untuk memata-matai platform tersebut.
"Saya selalu mendukung dan terus mendukung kebebasan berbicara, tetapi masalah Telegram bukan masalah kebebasan berbicara, melainkan masalah keamanan nasional," terangnya, dikutip dari Reuters, Sabtu (21/9/2024).
Adapun, Kepala pusat penanggulangan disinformasi dewan keamanan, Andriy Kovalenko, mengunggah di Telegram bahwa pembatasan tersebut hanya berlaku untuk perangkat resmi, bukan telepon pribadi.
Namun, pejabat keamanan Ukraina telah berulang kali menyuarakan kekhawatiran tentang penggunaannya selama perang.
Setelah keputusan itu diumumkan, Telegram mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah mengungkapkan data siapa pun atau isi pesan apa pun.
Baca Juga
"Telegram tidak pernah memberikan data pesan apa pun ke negara mana pun, termasuk Rusia. Pesan yang dihapus akan dihapus selamanya dan secara teknis tidak mungkin dipulihkan," jelasnya.
Telegram menyatakan bahwa setiap kebocoran pesan yang dilaporkan telah terbukti sebagai hasil dari perangkat yang disusupkan, baik melalui penyitaan maupun malware.
Sebagai informasi, menurut basis data Telemetrio, sekitar 33.000 saluran Telegram aktif di Ukraina. Telegram banyak digunakan di Ukraina dan Rusia dan telah menjadi sumber informasi penting sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022.
Apilkasi tersebut didirikan oleh Pavel Durov kelahiran Rusia. Dia meninggalkan Rusia pada 2014 setelah menolak memenuhi tuntutan untuk menutup komunitas oposisi di platform media sosial miliknya VKontakte, yang telah dijual olehnya.
Durov kemudian ditangkap kala mendarat di Prancis pada Agustus 2024, sebagai bagian dari penyelidikan terhadap kejahatan terkait pornografi anak, perdagangan narkoba, dan transaksi penipuan di Telegram.