Bisnis.com, JAKARTA - Kedatangan Sri Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi umat Katolik Roma sekaligus kepala negara Vatikan ke Indonesia pada 3—6 September 2024, merupakan perjalanan bersejarah yang disambut kegembiraan tidak hanya oleh umat Katolik di Indonesia, tetapi juga pemerintah dan bangsa Indonesia secara luas.
Kehadiran secara fisik Sri Paus Fransiskus merupakan berkat yang membawa kegembiraan pada bangsa Indonesia. Melanjutkan persahabatan Indonesia dan Vatikan yang telah dirintis sejak awal berdirinya Republik ini tahun 1945, kekuatan dua negara untuk menggalang persaudaraan sejati sangatlah penting bagi perdamaian dunia.
Bahkan kunjungan Sri Paus ke Indonesia ini merupakan pilihan yang tidak semua didapatkan oleh negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Vatikan, salah satunya kabarnya karena penghormatan Sri Paus akan kegembiraan hidup bersama di tengah keberagaman yang dinaungi Pancasila di Indonesia.
Membicarakan Sri Paus Fransiskus tak melepaskan dari sosok manusiawinya. Setidaknya hal itu tampak pada film The Two Popes yang dirilis tahun 2019. Paus pertama dari benua Amerika itu merepresentasikan dunia saat ini yang membutuhkan persaudaraan sejati yang menjadi buah dari kesederhanaan dan kegembiraan hidup di tengah pertikaian, peperangan, serta penderitaan karena ketidakadilan dan kerusakan lingkungan.
Kesederhanaan hidup Sri Paus Fransiskus seakan memberi pesan kepada dunia, kegembiraan hidup sejati dapat dihadirkan dari sikap hidup sederhana. Kesederhanaan membawa kedekatan dan kebersamaan untuk bergembira bersama sesama, maka pilihan-pilihan kebersamaan hidup selalu melekat dalam hidup Sri Paus Fransiskus. Sepak bola salah satunya. Bila dikaitkan dengan asal negara Paus Fransiskus, yaitu Argentina, maka hal itu wajar.
Tahun 1986, Meksiko menjadi tuan rumah Piala Dunia ke-14 setelah beberapa bulan sebelumnya didera oleh gempa bumi. Piala Dunia itu hanya ingin menunjukkan bahwa sepak bola memiliki tempat tersendiri dalam batin manusia modern, walau kepahitan baru atau sedang dialami. Riwayat olah raga rakyat yang telah menjadi hiburan dalam peradaban manusia modern ini, merupakan momentum strategis untuk perjumpaan antar bangsa di dunia. Bekerja keras dan profesionalitas untuk memenangi kompetisi yang sehat, menghadirkan tontonan yang menggembirakan, membangun prestasi dan daya saing bangsa dari waktu ke waktu.
Baca Juga
Sepak bola menjadi ajang untuk merajut persahabatan yang tulus tanpa intervensi dan di atas segala-galanya, menandaskan pada prinsip fair-play. Sepak bola adalah pantulan kehidupan yang nyata. Sepak bola lebih jujur berkata tentang kehidupan termasuk segala persaingan yang melekat di dalamnya. Seperti diilustrasikan oleh kolumnis sepak bola, Thomas Grassberger, dalam refleksi filosofis sepak bola yang dicarik dari pandangan para filosof.
Filsuf eksistensialis asal Prancis, Albert Camus, menyatakan “dalam hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berhutang budi pada sepak bola.”
“Setiap detik adalah final,” begitu kata Franz Kafka.
Tidakkah, sepak bola adalah ekspresi ekstrem bagi pendapat Kafka tersebut? Atau kata JW. Goethe, “lebih baik lari daripada bermalas diri.” Bukankah dengan sepak bola dinyatakan bahwa manusia yang malas berlari akan kalah dan tertinggal?
Budayawan Sindhunata (2002) menuturkan, sepak bola tidak sekadar permainan kaki melawan kaki dan kaki mendukung kaki. Sepak bola adalah kisah kehidupan manusia. Bola berputar seperti alur kehidupan manusia yang penuh gejolak dan dinamika. Hiburan dari sepak bola mengisahkan pergulatan anak manusia dengan kerasnya kehidupan. Pergulatan itu tidak selalu berakhir dengan kemenangan yang gilang-gemilang.
Pergulatan mati-matian kerap hanya mengantarkan pada kekalahan yang pahit dan menyakitkan. Itulah sebabnya, di dalam dan melalui sepak bola, kita dapat melihat dan merasakan tragedi, komedi, ketabahan untuk menerima kegagalan, serta tekad dan keberanian untuk selalu bangun meraih kemenangan. Sepak bola bisa membawa tawa, tetapi sekaligus juga mudah menghadirkan tangis.
Hiburan dari sepak bola mengisahkan pergulatan anak manusia dengan kerasnya kehidupan yang tak selalu berakhir dengan kemenangan gilang-gemilang. Itulah realisme nasib. Pergulatan mati-matian kerap hanya mengantarkan pada kekalahan yang pahit dan menyakitkan.
Tanpa intrik, monopoli, persekongkolan, distorsi permainan, maupun money politics, di dalam sepak bola kita dapat melihat dan merasakan tragedi, komedi, ketabahan untuk menerima kegagalan, serta tekad dan keberanian untuk selalu bangun meraih kemenangan. Sepak bola bisa membawa tawa, tetapi sekaligus juga menghadirkan tangisan.
Perjalanan apostolik Paus Fransiskus sebagai pemimpin Gereja Katolik Roma sekaligus kepala negara Vatikan menyiratkan semangat kebersamaan, persatuan dan persaudaraan sejati yang menjadi buah kegembiraan hidup. Maka, pesan penting yang dapat dipetik dari momentum bersejarah ini adalah, peran serta setiap warga bangsa untuk menghidupi kegembiraan hidup dan saling membagikan kegembiraan itu kepada sesama. Dengan demikian, akan tercipta bangsa dan negara Indonesia yang kuat dan bahagia.