Bisnis.com, JAKARTA - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR Yandri Susanto membantah isu bahwa rapat pembahasan RUU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota atau RUU Pilkada hari ini bertujuan untuk menyiasati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/PUU-XXII/2024.
Untuk diketahui, putusan MK yang dibacakan sehari sebelumnya itu menyatakan bahwa syarat partai politik (parpol) maupun gabungan parpol untuk mengajukan calon kepala daerah bukan lagi dengan ambang batas kepemilikan kursi di DPRD sebesar 20%.
Namun, syaratnya diganti dengan perolehan suara sah parpol atau gabungan parpol tergantung jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di wilayah tersebut. Yandru menjelaskan bahwa rapat Baleg untuk membahas RUU Pilkada itu merupakan respons terhadap putusan MK tersebut.
Pria yang juga Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) itu juga membantah adanya isu DPR ingin menganulir putusan soal ambang batas pencalonan kepala daerah, dengan RUU Pilkada yang kini tengah dikebut pembahasannya.
Meski demikian, Yandri menyebut pihaknya ingin menyadur amanat putusan MK itu ke dalam UU Pilkada.
"Kita enggak mungkin menganulir MK, kita ingin menyadur itu biar terang benderang, tidak ada tafsir yang liar, oleh penyelenggara KPU maupun pasangan calon yang ingin berkontestasi di Pilkada. Inilah redaksinya, titik komanya, kalimat per kalimatnya itu mesti kita sadur dalam UU Pilkada," ujarnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Baca Juga
DPR, lanjut Yandri, pun tidak menutup kemungkinan untuk menambahkan pasal di UU Pilkada tersebut.
MK, menurut Yandri, tidak memberi tafsir lebih lanjut atas ambang batas pencalonan kepala daerah pada putusannya. Oleh karena itu, DPR dinilai perlu membuat undang-undang yang harus menyadur putusan MK itu ke dalam pasal per pasal.
"Termasuk mungkin pasal penjelasan nanti, apa yang dimaksud keputusan MK itu, persyaratan 6,5%, 7,5% [suara sah] itu apa. Apakah itu berlaku untuk semua parpol, atau berlaku hanya untuk parpol nonparlemen, atau bisa gabungan ini perlu ditafsirkan," ucapnya.
Dia mengatakan DPR dan pemerintah masih mempunyai waktu untuk membuat aturan yang lebih terperinci.
"Insyaallah waktunya masih cukup untuk membuat aturan yang rigid dan detail sehingga itu akan jadi pedoman KPU untuk memproses ketika menerima pasangan calon mendaftar ke KPU," jelasnya.
Di sisi lain, Yandri juga membantah isu skenario putusan MK itu akan dilaksanakan pada 2029, melalui pembahasan UU Pilkads oleh Baleg hari ini.
"Kita enggak berpikir 2029, ya kita berpikir 2024, karena apapun semua peristiwa di republik ini tentu payung hukumnya UU termasuk pilkada," tutur Wakil Ketua MPR itu.
Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan calon kepala daerah gubernur, bupati dan wali kota kendati tidak memiliki kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di daerah tersebut.
Hal itu tertuang dalam putusan MK pada perkara No.60/PUU-XXII/2024. Perkara itu merupakan uji materi terhadap pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang (UU) No.10/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi UU.
Pasal yang digugat oleh pemohon ke MK itu berbunyi bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang bisa mencalonkan pasangan kepala daerah di Pilkada harus memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum DPRD yang bersangkutan.
Dalam amar putusan yang dibacakan hari ini, MK menyatakan permohonan provisi pemohon pada perkara No.60/PUU-XXII/2024 itu ditolak. Kemudian, dalam pokok permohonan, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon.
"Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo, Selasa (20/8/2024).
MK menyatakan pasal 40 ayat (1) UU No.10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi undang-undang, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2016 No.130, Tambagan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5898 bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, atau inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut;
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut;
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut;
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut.