Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah partai politik peserta kini memiliki peluang untuk mengajukan calon sendiri untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Jakarta 2024.
Hal itu merupakan konsekuensi dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.60/PUU-XXII/2024 terkait dengan uji materi Undang-undang (UU) No.10/2016. MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon sehingga ambang batas pencalonan kepala daerah tidak lagi bergantung kepada kepemilikan kursi di DPRD.
Berkat putusan MK, syarat pencalonan gubernur dan wakil gubernur pun berkisar antara 6,5% sampai dengan 10% tergantung dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di suatu daerah.
Di Jakarta, ambang batas pencalonan kepala daerah adalah 7,5% karena DPT di daerah tersebut berada di rentang 6 sampai 12 juta jiwa.
Adapun berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara pada Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) DRPD Jakarta 2024, terdapat beberapa partai yang otomatis berpeluang mengajukan calon sendiri.
Berikut daftar partai yang berpeluang memajukan calon sendiri di Pilkada Jakarta:
1. PKS: 1,01 juta suara (16,68%)
2. PDI Perjuangan: 850.174 suara (14 01%)
3. Partai Gerindra: 728.297 suara (12%)
4. Partai Nasdem: 545.235 suara (8,99%)
5. Partai Golkar : 517.819 suara (8,53%)
6. PKB: 470.652 suara (7,76%)
7. PSI: 465.936 suara (7,68%)
8. PAN: 455.906 suara (7,51%)
Baca Juga
Adapun partai-partai lain seperti Partai Demokrat, PPP, Partai Buruh, Partai Hanura dan lain-lain masih bisa mengusung calon gubernur dan wakil gubernur dengan berkoalisi hingga total suara mencapai 7,5%.
Sebagai perbandingan, para partai politik yang memeroleh kursi di Pileg DPRD Jakarta 2024 tidak ada yang bisa mencalonkan sendiri gubernur dan wakil gubernur. Mereka harus berkoalisi.
Partai yang memeroleh kursi terbanyak, PKS dengan 18 kursi, saja tidak bisa mencalonkan sendiri sebab tidak mencapai 20%.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, PKS memeroleh 18 kursi, PDIP 15 kursi, Gerindra 14 kursi, Nasdem 11 kursi, Golkar 11 kursi, PKB 10 kursi, PAN 10 kursi, PSI 8 kursi serta Demokrat 8 kursi.
Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan partai politik atau gabungan partai politik bisa mengajukan calon kepala daerah gubernur, bupati dan wali kota kendati tidak memiliki kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) di daerah tersebut. Hal itu tertuang dalam putusan MK pada perkara No.60/PUU-XXII/2024.
Perkara itu merupakan uji materi terhadap pasal 40 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang (UU) No.10/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi UU.
Pasal yang digugat oleh pemohon ke MK itu berbunyi bahwa partai politik atau gabungan partai politik yang bisa mencalonkan pasangan kepala daerah di Pilkada harus memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum DPRD yang bersangkutan.
Dalam amar putusan yang dibacakan hari ini, MK menyatakan permohonan provisi pemohon pada perkara No.60/PUU-XXII/2024 itu ditolak. Kemudian, dalam pokok permohonan, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon.
"Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ujar Ketua MK Suhartoyo, Selasa (20/8/2024).
MK menyatakan pasal 40 ayat (1) UU No.10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi undang-undang, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2016 No.130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5898 bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, atau inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai berikut:
a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut;
b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut;
c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut;
d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut. Adapun MK menyatakan bahwa pasal 40 ayat (3) UU No.10/2016 itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasal itu mengatur bahwa dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan.
"Menyatakan pasal 40 ayat (3) UU No.10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota menjadi undang-undang, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 2016 No.130, bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.
Adapun dilansir dari situs resmi MK, MK menggelar sidang perdana pengujian materiil undang-undang (UU) No.10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) pada Kamis (11/7/2024), di Ruang Sidang MK. Perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih tersebut, Para Pemohon yang diwakili oleh Imam Nasef selaku kuasa hukum menyampaikan Para Pemohon merupakan Partai Politik yang telah mengikuti Pemilihan Umum Tahun 2024. Sehingga Para Pemohon yang merupakan Partai Politik memiliki kader/anggota/pengurus yang harus dilindungi hak-haknya, khususnya hak politik berupa hak memilih dan hak dipilih sebagai pejabat pemerintahan.
“Hal ini menjadi konsekuensi logis dalam berdemokrasi, bahwa berkaitan dengan Pemilihan Kepala Daerah maka setiap warga negara termasuk anggota/pengurus partai politik harus dijamin dan dilindungi hak-haknya khususnya hak untuk memilih (right to be vote) dan haknya untuk dipilih (right to be candidate), dan hak-hak Partai Politik pun juga harus dilindungi dan mendapatkan perlakuan yang sama dalam mengajukan calon kepala daerah/wakil kepala daerah,” tegas Imam.