Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol menawarkan bantuan, dialog, dan jalan menuju reunifikasi dengan Korea Utara.
Mengutip Bloomberg pada Kamis (15/8/2024), dialog ini menjadi pendekatan baru Korea Selatan terhadap negara tetangganya yang telah mencaci-maki dan mengancam akan memusnahkan pemerintahan di Seoul.
Hal tersebut diungkapkan Yoon Suk-yeol dalam pidatonya pada peringatan berakhirnya pemerintahan kolonial Jepang di Semenanjung Korea pada 1945. Yoon menyebut unifikasi sebagai tugas yang belum selesai yang ingin dicapai melalui jalur berbasis kebebasan.
“Hanya dengan tegas mempertahankan kebebasan kita, kita bisa menjadi kekuatan utama yang mendorong unifikasi yang bebas dan demokratis,” kata Yoon.
Adapun, Yoon juga berjanji untuk meningkatkan kesadaran mengenai pelanggaran hak asasi manusia di Korea Utara, yang selama bertahun-tahun telah dikritik atas catatan hak asasi manusianya.
Sementara itu, Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un pada awal tahun ini menghapuskan konsep unifikasi damai dengan Korea Selatan dari kebijakan nasional negaranya. Dia juga menghapus undang-undang kerja sama ekonomi dengan Korea Selatan yang semakin memperparah perpecahan antara kedua negara itu.
Baca Juga
Sikap Kim Jong Un ini menimbulkan beberapa spekulasi bahwa dirinya kini tengah mempersiapkan Korea Utara untuk berperang.
Meski demikian, Yoon menegaskan kembali bahwa dia dapat menawarkan imbalan atas langkah-langkah untuk menghentikan ambisi nuklir Kim. Dia mengatakan pihaknya akan memulai kerja sama politik dan ekonomi saat Korea Utara mengambil satu langkah menuju denuklirisasi.
Dia juga mengusulkan pembentukan Kelompok Kerja Antar-Korea yang dapat menangani isu-isu mulai dari meredakan ketegangan hingga kerja sama ekonomi.
Sementara itu, Kim Jong Un meningkatkan gesekan dengan Korea Selatan dengan memamerkan ratusan peluncur rudal bergerak barunya pada bulan ini untuk ditempatkan di perbatasan kedua negara. Senjata tersebut dapat melancarkan serangan konvensional atau nuklir terhadap pangkalan Korea Selatan dan AS yang ada di wilayah Negeri Ginseng.
Adapun, Korea Utara saat ini belum menunjukkan tanda-tanda siap untuk berunding. Kim Jong Un telah memperkuat kekuasaannya dengan memberikan amunisi ke Rusia sebagai imbalan atas bantuan yang menopang perekonomiannya, kata AS dan Korea Selatan.
Selain itu, Korea Utara juga menolak tawaran bantuan kemanusiaan dari Seoul setelah Korea Utara dilanda banjir besar pada akhir Juli. Kim Jong Un juga menegaskan dalam penolakan tersebut bahwa musuh tetaplah musuh.
“Meskipun rezim Korea Utara menolak tawaran kami lagi, kami tidak akan pernah berhenti menawarkan bantuan kemanusiaan,” kata Yoon.
Menyatukan kedua Korea, baik melalui runtuhnya rezim Kim atau melalui rekonsiliasi damai, akan memunculkan biaya dan peluang yang sangat besar bagi Korea Selatan.
Populasi Korea Selatan sejumlah 52 juta jiwa, yang semakin menua dan menyusut, akan mendapat sentakan dengan menyerap 26 juta penduduk Korea Utara. Hal ini akan memungkinkan perusahaan-perusahaan Korea Selatan mendapatkan manfaat dari pekerja berbiaya rendah dan membuka jalan baru bagi perdagangan, menurut analisis Bloomberg Economics.
Di sisi lain, kantor anggaran parlemen Korea Selatan mengatakan dalam laporan tahun 2015 bahwa Seoul perlu mengeluarkan 4,8 kuadriliun won (US$3,45 triliun) selama 50 tahun untuk meningkatkan tingkat pendapatan Korea Utara hingga 66% dari rata-rata pendapatan Korea Selatan.
Peringatan 15 Agustus berakhirnya kekuasaan Jepang dengan menyerahnya Jepang pada Perang Dunia II adalah salah satu dari beberapa hari yang diperingati di Korea Utara dan Selatan. Mereka berdua melontarkan kritik terhadap politisi terkemuka Jepang pada hari kunjungan mereka ke Kuil Yasukuni di Tokyo, tempat 14 penjahat perang Kelas A dihormati bersama dengan korban perang lainnya.
Tiga anggota kabinet Perdana Menteri Fumio Kishida, yakni Menteri Keamanan Ekonomi Sanae Takaichi, Menteri Pertahanan Minoru Kihara dan Menteri Revitalisasi Ekonomi Yoshitaka Shindo mengunjungi Yasukuni pada hari Kamis berdasarkan laporan Kyodo News.
Kuil Yasukuni dipandang oleh banyak orang di seluruh Asia sebagai simbol militerisme Jepang di masa lalu. Korea Selatan menyatakan kekecewaannya atas kunjungan para pejabat tersebut, kata Kementerian Luar Negeri Korea Selatan dalam sebuah pernyataan.