Bisnis.com, JAKARTA -- Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri mengumumkan calon kepala daerah di lebih dari 100 wilayah yang akan diusung di Pilkada serentak 2024.
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan bahwa pengumuman calon kepala daerah dari PDIP itu akan berlangsung pada hari ini, Rabu (14/8/2024))
“Jadi Rabu 14 Agustus 2024, nanti kami akan mengumumkan, Megawati Soekarnoputri akan mengumumkan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang gelombang pertama,” katanya usai konferensi pers Soekarno Run 2024 di Jakarta, Minggu (11/8/2024).
Hasto juga meminta para awak media bersabar mengenai daerah mana saja yang diumumkan pada 14 Agustus 2024. Dia pun hanya menjabarkan apa yang diumumkan nanti oleh Megawati akan mencerminkan Indonesia Raya.
“Pijakan PDIP ini kan Indonesia untuk Indonesia Raya. Maka yang diumumkan itu nanti merepresentasikan Indonesia kita. Ada yang dari Aceh, ada yang dari Papua, ada yang dari Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, pokoknya Kalimantan lengkap,” pungkas Hasto.
Penuh Tantangan
Pemilihan Kepala Daerah alias 2024 menjadi momen penuh tantangan bagi PDI Perjuangan (PDIP). Selain harus menjaga basis suara, mereka juga harus membendung arus kuat 'super koalisi' yang diinisiasi oleh mayoritas partai pendukung Prabowo Subianto dan presiden Joko Widodo (Jokowi), beserta partai parlemen lain non PDIP.
Baca Juga
Peristiwa itu seolah mengingatkan kepada kejadian serupa pada tahun 2013 lalu. Saat itu, posisi PDIP juga tidak kalah pelik, PDIP 'dikeroyok' kanan-kiri oleh partai pendukung pemerintah yang pada waktu dipimpin oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY.
Salah satu peristiwa paling mencolok terjadi di Bali. Pada Pilkada 2013 lalu, PDIP nyaris bertarung sendirian. Mereka hanya berkolaborasi dengan partai non-parlemen PNI Marhaenisme. Koalisi ini mengusung adik penguasa Puri Satria, Denpasar, Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga yang berpasangan dengan Dewa Nyoman Sukrawan.
Lawan mereka adalah koalisi gemuk pengusung petahana I Made Mangku Pastika. Pastika berpasangan dengan politikus Golkar, I Ketut Sudikerta. Pasangan ini didukung oleh mayoritas partai parlemen mulai dari Demokrat, Golkar, PAN, Gerindra, Hanura. Serta partai non parlemen yakni PKPI, PKPB, PNBK, hingga Partai Karya Perjuangan.
Alhasil, Puspayoga kalah, meskipun suara yang diperoleh sangat tipis dengan suara milik pemenang yakni, Mangku-Kerta. Peristiwa di Bali cukup menarik, karena pada periode pertama, Mangku Pastika diusung oleh PDIP. Sementara periode kedua, ia maju dan berstatus sebagai kader Demokrat.
Tren di Bali tersebut juga terjadi di Jawa Tengah. Hanya saja, pada waktu itu, PDIP masih beruntung karena lawan mereka tidak hanya satu, ada tiga pasangan. PDIP pada Pilgub Jateng juga bertarung sendirian mengusung pasangan Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko.
Sama seperti di Bali, lawan calon PDIP adalah bekas gubernur yang mereka usung pada Pilkada 2008 yakni Bibit Waluyo. Bibit Waluyo diusung Demokrat, Golkar dan PAN. Bedanya dengan Bali, di Jateng PDIP berhasil mengalahkan petahana. Mereka mengantarkan Ganjar-Heru sebagai gubernur dan wakil gubernur periode 2013-2018.
Bagaimana Pilkada 2024?
Pola Bali dan Jawa Tengah berpotensi besar terjadi di Pilkada 2024. PDIP hampir dipastikan akan menghadapi koalisi super jumbo di 4 daerah. Keempat daerah itu antara lain, Sumatra Utara, DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Timur.
Di Sumatra Utara hampir mayoritas partai politik, kecuali PDIP, mengusung menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Bobby Nasution. Bobby didukung oleh koalisi besar mulai dari Gerindra, Golkar, PAN, PKB, PKS, hingga Demokrat. Sedangkan PDIP sendiri mengusung petahana, Edy Rahmayadi. PDIP bertarung sendirian dengan pendukung menantu Jokowi.
Sementara itu, di Jatim, PDIP sedang menjalin komunikasi secara intens dengan PKB. Mereka akan menghadapi Khofifah Indar Parawansa - Emil Dardak yang diusung oleh mayoritas partai parlemen yakni Golkar, Gerindra, PKS, PPP, hingga Demokrat.
Pola yang sama juga terjadi di Banten. PDIP sejauh ini telah berkomitmen untuk mengusung kader Golkar, Airin Rachmy Diani dengan Ade Sumardi. Pasangan ini akan dideklarasikan pada hari ini. Namun rencana itu batal karena perubahan politik pasca pengunduran diri Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar.
PDIP, kalau memperoleh tiket, akan melawan koalisi jumbo pendukung Andra Soni dan Dimyati Natakusuma. Andra-Dimyati didukung Gerindra, PKS, Demokrat, Nasdem, PSI, PKB, PAN, hingga Partai Prima (nonparlemen).
Situasi lebih pelik juga dihadapi oleh PDIP di Jakarta. PDIP masih berupaya menjajaki koalisi dengan partai lain meskipun belum ada tanda-tanda adanya kesepakatan untuk mengusung calon gubernur DKI Pemilihan Gubernur alias Pilgub DKI Jakarta.
PDIP saat ini masih memiliki opsi untuk mengusung Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama atau kandidat lainnya. Namun untuk maju sendiri, PDIP masih kurang 7 kursi. Sebaliknya Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus justru semakin solid.
KIM Plus adalah gabungan partai pendukung Prabowo Subianto dan pemerintahan Jokowi non PDIP. Mereka akan mengusung Ridwan Kamil (RK) sebagai calon gubernur Jakarta. RK berpotensi melawan kotak kosong jika PDIP, PKS, Nasdem tak mengusung kader atau calonnya sendiri.
Untung Rugi Kotak Kosong
Munculnya wacana Koalisi Indonesia Maju alias KIM plus berpotensi mempersempit ruang demokrasi karena akan menghambat calon potensial untuk maju dalam kontestasi pemilihan kepala daerah alias Pilkada Serentak 2024.
Partai politik diharapkan dapat memberikan pilihan calon kepala daerah yang lebih beragam. Hal itu diperlukan untuk menghindari fenomena kotak kosong pada Pilkada 2024.
Adapun, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkapkan salah satu kecenderungan koalisi besar melawan koalisi kecil dapat terjadi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta.
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes melihat bahwa koalisi besar yang kemungkinan mengusung Ridwan Kamil, memiliki potensi besar untuk head-to-head dengan koalisi yang lebih kecil yang belum menentukan pilihan yakni PKS, NaSdem, PKB dan PDIP.
“Kalau kita ambil misalnya, tiba-tiba skenario Nasdem, PKB, dan PKS, kalau PKS-nya keluar berarti sisa PKB dan Nasdem ya. PKB dan Nasdem itu bisa mencalonkan karena 23 kursi. Tapi kalau Nasdem dan PKB menarik diri, hanya tinggal Nasdem, itu tidak bisa juga mencalon. PDIP kalau bertemu dengan Nasdem, dapat 25% calon” jelas Arya dalam Peta Kompetisi dan Dinamika Pilkada 2024 di Auditorium CSIS, Jakarta, Kamis (8/8/2024).
Arya mengungkapkan perlunya mendorong partai-partai yang belum menentukan calon, yakni PKS, Nasdem, PKB dan PDIP untuk mengusung nama calon. Hal tersebut ia nilai penting agar desain calon kotak kosong dapat terhindarkan.
Sebelumnya, Arya memang menjelaskan bahwa kompetisi di beberapa daerah akan mempertemukan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus dengan PDIP.
Contohnya, beberapa tempat yang diproyeksi akan adanya pertarungan Kim Plus versus PDIP berada di Sumatra Utara, Jawa Tengah, Sulawesi Utara, Bali, mungkin juga Sulawesi Utara, hingga DKI Jakarta.
Adapun, terkait skenario kotak kosong, ia menilai bahwa hal ini tidak berimplikasi secara positif terhadap demokrasi.
“Kalau skenario itu terjadi, tentu itu menurut saya pribadi itu suatu yang tidak sehat bagi kompetisi kita. Tidak sehat karena tidak ada kontestasi dan tidak memberikan peluang seseorang untuk maju,” tuturnya.