Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan akan menjalani sidang pembacaan putusan atas perkara korupsi pengadaan gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) hari ini, Senin (24/6/2024).
Sebelumnya, Karen telah dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) hukuman pidana penjara selama 11 tahun.
Dia juga dituntut membayar denda Rp1 miliar sekaligus uang pengganti Rp1,09 miliar dan US$104,016. Pihak KPK memiliki keyakinan Majelis Hakim telah menilai secara obyektif seluruh fakta-fakta yang disampaikan tim JPU di persidangan.
"Dan kami berharap keyakinan kami dapat tercermin pada Amar Putusan yang akan dibacakan Majelis Hakim hari ini," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto kepada wartawan, Senin (24/6/2024).
Sebelumnya, tim JPU KPK juga menuntut untuk membebankan uang pengganti kerugian keuangan negara pada pengadaan LNG di Pertamina kepada Corpus Christi Liquefaction, LLC atau CCL sebesar US$113,83 juta.
Dalam pertimbangan JPU, terdapat sejumlah hal meringankan dan memberatkan tuntutan kepada Karen yaitu tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, tidak mengakui perbuatannya dan diniali berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan.
Baca Juga
Sementara itu, hal meringankan atas tuntutan Karen yaitu bersikap sopan selama persidangan. Dalam persidangan, KPK mendakwa Karen merugikan keuangan negara sebesar US$113,83 juta akibat kerja sama kontrak pengadaan LNG Pertamina dengan perusahaan produsen asal Amerika Serikat (AS) Corpus Christi Liquefaction (CCL), LLC.
Dia juga didakwa memperkaya diri sendiri senilai Rp1,09 miliar dan US$104.016. Karen sempat menggugat praperadilan atas status hukum tersangka pada saat penyidikan, namun Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak permohonannya.
Dia juga sebelumnya telah divonis bui selama 8 tahun dan denda Rp1 miliar subsidair 4 bulan kurungan pada kasus korupsi investasi perusahaan di Blok Baster Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009. Kasus itu ditangani Kejaksaan Agung. Namun, Karen nengajukan kasasi ke MA. Alhasil, bandingnya diterima dan karen divonis lepas.
MA menilai menilai tindakan Karen dalam investasi itu bukan pidana, melainkan business judgement rule. Setelah itu, Karen ditetapkan tersangka oleh KPK.
Pada tahap penyidikan, lembaga antirasuah pernah memeriksa mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan, mantan Komisaris Utama Pertamina Basuka Tjahaja Purnama (Ahok) dan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati.
Di sisi lain, pada persidangan, pihak Karen pernah menghadirkan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla atau JK sebagai saksi a de charge.
Alasan Karen Dituntut Pidana?
Nilai kerugian keuangan negara yang disebut dalam surat dakwaan Karen merupakan hasil Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia dalam rangka Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Pengadaan LNG Corpus Christi Liquefaction LLC (CCL) pada PT Pertamina (Persero) dan instansi terkait lainnya nomor: 74/LHP/XXI/12/2023 tanggal 29 Desember 2023.
Untuk diketahui, CCL merupakan perusahaan yang menandatangani kerja sama pengadaan LNG dengan Pertamina di bawah kepemimpinan Karen saat itu. Perusahaan yang berbasis di engara bagian Texas di AS itu merupakan anak usaha dari Cheniere Energy, Inc.
JPU menyatakan bahwa persetujuan pengembangan bisnis gas Pertamina pada beberapa kilang LNG potensial di Amerika Serikat (AS) itu dilakukan tanpa pedoman pengadaan yang jelas dan hanya memberikan izin prinsip tanpa dasar justifikasi, analisis, maupun tanggapan tertulis pada Dewan Komisaris perseroan.
Karen juga disebut menandatangani perjanjian jual beli LNG dengan CCL tanpa persetujuan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dia lalu memberikan kuasa kepada dua anak buahnya, Senior Vice President (SVP) Gas and Power Pertamina 2013-2014 serta Direktur Gas Pertamina 2012-2014 Hari Kayuliarto, untuk menandatangani masing-masing Sales and Purchase Agreement (SPA) CCL Train 1 dan Train 2.
Hal itu turut dilakukan Karen tanpa adanya pembeli LNG dari CCL itu yang sudah diikat dengan perjanjian pembelian.
Pada sidang pembacaan tuntutan, JPU KPK berpendapat bahwa pembelian LNG oleh Pertamina dari CCL hanya dalih Karen semata, bukan karena adanya kebutuhan domestik. Jaksa menyebut kebutuhan gas domestik masih bisa dipenuhi dari dalam negeri sehingga saat itu tidak membutuhkan impor.
Berdasarkan uraian jaksa, kontrak jangka panjang pembelian 40 juta ton LNG periode 2017-2036 di bawah kepemimpinan Karen awalnya ditujukan untuk proyek floating storage regasification unit (FSRU) Jawa Tengah.
Namun, pada perjalanannya bahwa proyek FSRU Jawa Tengah dibatalkan. Jaksa juga menyebut LNG dari CCL tidak berhasil diserap lantaran harga yang dibeli dari perusahaan AS itu terlalu mahal untuk kilang Pertamina. Alhasil, lanjut jaksa, LNG dari CCL tidak bisa diserap oleh pasar domestik.
Pertamina pun disebut menjual sebanyak delapan kargo gas alam cair dari CCL itu di pasar spot dengan harga lebih rendah. Kemudian, perseroan juga harus membayar suspension fee atas batalnya pembelian sebanyak tiga kargo LNG lainnya.
Kerugian keuangan negara itu lalu terpotret dalam audit penghitungan kerugian keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Audit negara itu menyatakan bahwa pembelian LNG oleh Pertamina dari CCL merugikan keuangan negara sebesar US$113,83 juta (atau sekitar Rp1,83 triliun berdasarkan kurs jisdor BI Rp16.160 per dolar AS).
Minta Jabatan di Perusahaan AS
Di sisi lain, Karen turut 'bermanuver' sendiri untuk menjalin komunikasi dengan salah satu pihak pemegang saham Cheniere Energy, Inc. Tujuannya yakni untuk mendapatkan jabatan di perusahaan investasi tersebut.
Dalam surat dakwaan yang sama, JPU juga menyebut Blackstone merupakan pemilik saham dari induk CCL yaitu Cheniere Energy, Inc. Karen disebut menjalin komunikasi dengan Blackstone untuk mendapatkan jabatan di perusahaan itu usai meloloskan kontrak pengadaan LNG antara CCL dan Pertamina.
"Dan memperoleh jabatan sebagai Senior Advisor pada Private Equity Group Blackstone karena PT Pertamina telah mengambil proyek Corpus Christi Liquefaction," demikian bunyi surat dakwaan.
Atas perbuatannya, Karena dijerat dengan pasal 2 ayat (1) jo. pasal 18 Undang-undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. pasal 64 ayat (1) KUHP. Usai dituntut 11 tahun bui, Karen kukuh membantah merugikan keuangan negara.
Dia mengklaim bahwa Pertamina meraup untung sebesar US$91 juta berkat kontrak pengadaan LNG dengan CCL. Dia menyebut kerugian seperti yang dialami pada 2020-2021 ketika pandemi Covid-19, berada di luar kendalinya lantaran sudah tidak lagi menjabat direktur utama.
"Apakah saya tahu di 2019 atau 2020 akan ada pandemi? Kan saya enggak tahu. Atau misalnya kebijakan ini menjadi suatu tindak pidana korupsi, jangan harap Pertamina bisa menyaingi BUMN-BUMN internasional atau perusahaan-perusahaan swasta lain," ujarnya kepada wartawan usai persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (30/5/2024).