Bisnis.com, JAKARTA – Pakar hukum tata negara STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari tiga hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan Sidang Sengketa Pilpres 2024 menjadi gambaran adanya sebuah pertentangan.
MK menolak dua permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2024 yang diajukan pasangan calon (paslon) nomor urut 01 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar serta paslon 03 Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Namun, tiga hakim konstitusi yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat mengungkapkan dissenting opinion masing-masing terhadap dua putusan tersebut.
"Mengenai dissenting opinion-nya, ini juga suatu fenomena yang menarik. Karena sudah menjadi kebiasaan para hakim, ini memang tidak ada ya di hukum acara Mahkamah Konstitusi, tapi ini sudah menjadi kesepakatan para hakim selama ini mulai dari PHPU pertama kali pada 2004. Mereka akan selalu mengupayakan putusan PHPU Pilpres untuk bulat,” kata Bivitri melalui unggahan video di media sosial pribadinya, Selasa (23/4/2024).
Artinya, apabila para hakim konstitusi belum sependapat mengenai putusan, maka hal itu akan dibahas terus-menerus dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) hingga menghasilkan suara bulat.
Menurut Bivitri, hal ini dilakukan hakim MK karena ingin menjaga legitimasi pemerintahan baru dari presiden dan wakil presiden terpilih. Dissenting opinion dalam putusan PHPU ini disebutnya baru pertama kali terjadi.
“Berarti ada yang tidak bisa dimusyawarahkan sampai bulat, dan ini pertama kali terjadi. Ini menandakan bahwa ada pertentangan pendapat yang sebenarnya cukup keras,” sambungnya.
Baca Juga
Selain itu, dia juga menyoroti signifikansi dari dissenting opinion putusan ini, karena dilakukan oleh tiga dari total delapan hakim yang menangani perkara PHPU Pilpres 2024.
Berdasarkan catatan Bisnis, dalam sidang putusan sengketa Pilpres 2024 di Gedung MK, Jakarta Pusat kemarin, Hakim Konstitusi Saldi Isra berpendapat bahwa dalil permohonan paslon nomor urut 01 dan 03 soal politisasi bantuan sosial (bansos) dan mobilisasi aparatur negara beralasan menurut hukum.
Menurut Saldi, Mahkamah seharusnya memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang di beberapa daerah. Setelah membaca keterangan Bawaslu, fakta persidangan, dan mencermati alat bukti secara saksama, dia meyakini memang telah terdapat masalah netralitas penjabat (Pj) kepala daerah dan pengerahan kepala desa di Sumatra Utara, Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan.
Hal senada disampaikan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, bahwa dalil permohonan kedua pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.
Dia meyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagiannya berkelindan dengan pemberian bantuan sosial yang terjadi pada beberapa daerah, dan oleh karenanya Mahkamah seharusnya memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat berpendapat permohonan PHPU Pilpres 2024 seharusnya diputus dengan amar mengabulkan sebagian. Menurutnya, Mahkamah seharusnya memerintahkan kepada KPU RI untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di daerah pemilihan yang disebutkan dalam waktu 60 hari terhitung sejak putusan diucapkan.