Bisnis.com, JAKARTA — Usai pencoblosan pemilu 2024 dan perhitungan suara berjalan, masyarakat dari berbagai elemen menggelar aksi unjuk rasa sebagai protes atas tercorengnya gelaran pesta demokrasi. Seberapa kuat rentetan unjuk rasa yang ada dan bagaimana peluang aspirasi itu dapat tercapai?
Pemungutan suara dalam pemilihan umum (Pemilu) 2024 telah berlangsung lebih dari dua pekan lalu, pada Rabu (14/2/2024). Perhitungan dan rekapitulasi suara masih berlangsung hingga dijadwalkan selesai dua pekan mendatang, Rabu (20/3/2024).
Publik begitu menyoroti pelaksanaan Pemilu 2024 karena muncul berbagai dugaan kecurangan, mulai dari pengerahan aparat negara, hingga polemik perhitungan suara di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Berbagai masalah itu membuat sekelompok masyarakat turun ke jalan menyuarakan aspirasi.
Pada Senin (19/2/2024) misalnya, terdapat kelompok masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa di dekat Monas, Jakarta Pusat. Massa menuntut KPU untuk mengusut dugaan kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2024.
Tidak lama berselang, pada Jumat (23/2/2024) sekelompok massa berdemonstrasi di Kantor KPU, Jakarta. Aksi unjuk rasa serupa juga terjadi di berbagai daerah, dengan tuntutan pengusutan dugaan kecurangan KPU.
Lalu, pada Jumat (1/3/2024) terdapat kelompok masyarakat yang berunjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta. Bedanya, aspirasi mereka adalah menolak hak angket DPR untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024 dan menolak pemakzulan Presiden Jokowi.
Baca Juga
Peluang Aspirasi dalam Demonstrasi untuk Didengar
Pengamat Politik Universitas Al-Azhar, Ujang Komarudin mengatakan bahwa tuntutan pengunjuk rasa bakal terealisasi apabila terdapat massa yang sangat banyak dan satu suara.
"Ya kalau ingin memakzulkan Jokowi harus ada people power [dengan skala besar], harus ada satu musuh," ujar Ujang kepada Bisnis, Minggu (3/2/2024).
Hanya saja, menurutnya, dinamika yang terjadi dalam politik maupun masyarakat Indonesia saat ini masih beragam. Mulai dari elite politik yang terpecah hingga masyarakat yang masih memiliki pandangan berbeda dalam menanggapi situasi yang ada.
"Sekarang ini kan elite pun terpecah-pecah, terkotak-kotak. Masyarakat pun terpecah-pecah. Ada yang mendorong pemakzulan ada yang tidak, ada yang menuduh kecurangan ada juga yang meng-counter tuduhan itu. Kan seperti itu," imbuhnya.
Bicara soal tolak pemilu melalui demo, Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor mengatakan bahwa menolak hasil Pemilu melalui aksi unjuk rasa tidak akan bisa menentukan hasil akhirnya.
Namun demikian, kata Firman, demonstrasi itu bisa menjadi cara efektif untuk menunjukkan bahwa ada persoalan selama serangkaian Pemilu seperti dugaan kecurangan dan sebagainya.
"Kalau mengenai hasil pemilihan ada prosedurnya sendiri, sehingga tentu saja demonstrasi itu hanya menunjukkan persoalannya, tapi hasil akhirnya ada jalur yang digunakan melalui MK [Mahkamah Konstitusi], atau lembaga penyelenggara Pemilu," kata Firman.
Dia juga mengatakan bahwa aksi unjuk rasa dalam Pemilu merupakan hal yang wajar dan merupakan bagian dari dinamika politik terutama di negara-negara demokrasi.
"Ya itu merupakan hal yang positif yang merupakan bagian dari aspirasi masyarakat terhadap sebuah fenomena, itu wajar terjadi di berbagai negara terutama negara demokrasi, seperti halnya di Amerika," pungkasnya.