Bisnis.com, JAKARTA - Invasi Rusia ke wilayah Ukraina telah berlangsung selama 2 tahun. Namun demikian, pasukan Rusia belum berhasil mengontrol sebagian besar wilayah tetangga serumpunnya tersebut.
Sebaliknya, Ukraina terus melakukan perlawanan sengit. Mereka sering kali membuat repot pasukan Rusia. Ukraina bahkan beberapa kali meneror wilayah Rusia, menenggelamkan kapal rudal, dan kabar terbaru berhasil menembak jatuh pesawat pendeteksi radar Rusia di sekitar lautan Azov.
Invasi Rusia dimulai pada tanggal 24 Februari 2022, tepatnya ketika Presiden Vladimir Putin menginstruksikan pasukannya menyerang Kyiv, ibu kota Ukraina. Putin menyebut aksi militernya itu sebagai 'operasi militer khusus' bukan perang atau invasi seperti yang disematkan oleh media-media pada umumnya.
Selama dua tahun perang berlangsung, kedua belah pihak saling mengeklaim kemenangan. Rusia berhasil menduduki wilayah Ukraina Timur dan sebagian selatan. Mereka telah merebut Bakhmut dan terakhir menguasai Avdiivka di Donetsk.
Di sisi lain, Ukraina miliki kekuatan bertahan yang mengesankan. Ukraina mampu menahan laju pasukan Rusia yang jauh lebih kuat. Setidaknya, niat Rusia untuk menduduki Ibu Kota Ukraina, Kyiv gagal total.
Rusia justru menderita kerugian yang besar. Baik dari sisi alat utama sistem persenjataan atau alutsista maupun personel pada periode awal invasi atau operasi militer khusus, jika mengikuti istilah yang dipakai Kremlin. Pertahanan Ukraina memaksa Rusia memusatkan pasukannya ke wilayah Timur Ukraina.
Baca Juga
Wilayah Timur Ukraina yang memilki konsentrasi populasi etnis rusia yang cukup besar menjadi titik konflik sejak tahun 2014 lalu. Konflik ini dipicu oleh revolusi Ukraina dan menguatnya gerakan Euromaidan. Gerakan ini mendesak otoritas Ukraina mengintegrasikan diri dengan Uni Eropa. Ukraina mulai meninggalkan Rusia.
Rusia dan Ukraina sejatinya memiliki sejarah yang panjang dari masa pemerintahan Kievan-Rus, Kekaisaran Rusia, Uni Soviet, hingga pasca Uni Soviet. Kedua negara memiliki kesamaan yakni didominasi kebudayaan dan bangsa Slavik.
Sepanjang sejarah terutama pada masa Tsar Rusia, Ukraina selalu berada dalam pengaruh Rusia. Kondisi berlanjut pada masa Uni Soviet. Meski demikian, beberapa pejabat penting Uni Soviet diketahui memiliki darah Ukraina. Salah satunya pemimpin Uni Soviet 1964-1982, Leonid Brezhnev, yang sering disebut memiliki darah Ukraina.
Namun sejak jatuhnya Uni Soviet dan menguatnya pengaruh Barat, termasuk NATO, ke negara-negara Eropa Timur, Ukraina mulai berpaling dari Rusia, terutama setelah lengsernya Presiden Viktor Yanukovych.
Presiden penggantinya Petro Porosenko, dalam beberapa literatur dan pemberitaan, disebut sebagai politikus pro Barat. Namun dalam beberapa informasi menyebutkan Porosenko ikut mendanai gerakan separatis di Donestsk dan Lugansk. Dia sempat lari dari Ukraina untuk menghindari penangkapan atas tuduhan pengkhianatan tingkat tinggi ketika Volodymyr Zelensky mengambil alih kekuasaan.
Kondisi Ukraina pasca 2014 memang tidak stabil. Wilayah Ukraina Timur memberontak dan ingin memisahkan diri. Salah satu alasan gerakan separatis di wilayah ini adalah diskriminasi terhadap etnis Rusia oleh rezim Kiev. Konflik di Donetsk dan Lugansk semakin pelik karena pihak Kyiv menuding campur tangan Rusia.
Situasi politik itu hampir bersamaan dengan pencaplokan atau aneksasi Rusia terhadap kawasan semenanjung Krimea. Wilayah Krimea secara tradisional memang berkaitan erat dengan kebudayaan Rusia, terutama pada masa pemerintahan Tsar Rusia. Presiden Rusia Vladimir Putin berusaha mengklaim warisan sejarah itu,
Namun Krimea sendiri merupakan kawasan multi etnis. Etnis dengan konsentrasi besar di wilayah ini antara lain Rusia, Ukraina dan Tatar Krimea.
Tatar Krimea adalah etnis yang telah ratusan tahun mendiami wilayah Krimea. Mereka bahkan pernah membentuk suatu kerajaan yang disebut Kekhanan Krimea. Asal-usul Tatar Krimea masih diperdebatkan. Namun ada yang mengaitkannya dengan penguasa Mongol, Genghis Khan. Mayoritas Tatar Krimea adalah Muslim. Kekhanan Rusia juga memiliki hubungan yang dekat dengan Turki Usmani.
Kemerdekaan bangsa Tartar direnggut pada masa Tsar Rusia pada akhir abar 18 dan itu berlanjut pada masa kekuasaan Uni Soviet.
Pejuang Tatar menjadi salah satu relawan penting saat perang melawan Rusia saat ini. Mereka memiliki pengalaman pahit dengan Rusia, terutama deportasi massal ke wilayah Asia Tengah oleh pemerintahan Stalin. Perang antara Rusia dan Ukraina menjadi jalan bagi mereka untuk membebaskan tanah kelahiran mereka, Krimea.
Invasi Rusia ke Ukraina sendiri pecah ketika Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan dimulainya operasi khusus ke Ukraina. Tujuan awal operasi ini adalah menduduki Kyiv. Kremlin ingin menghukum Kyiv yang sudah kebarat-baratan, neo-Nazi, dan tetek bengek-nya. Sayangnya upaya itu gagal.
Rupanya sejak konflik separatis dan aneksasi Krimea, Ukraina telah siap. Mereka mulai modernisasi senjatanya yang semula didominasi bekas Uni Soviet. Peralatan senjata dari barat mulai banyak diakuisisi. Dan ini benar-benar manjur. Senjata anti-tank Javelin buatan Amerika Serikat menjadi momok bagi tank-tank Rusia. Rusia gagal menduduki Kyiv.
Di Rusia sendiri invasi ini menuai pro dan kontra. Politisi oposisi Rusia yang meninggal dipenjara, Alexei Navalny, sempat melancarkan kritik pada tahun 2023 lalu. Navalny menuding Putin menghancurkan masa depan Rusia demi ambisi pribadinya. “Alasan sebenarnya dari perang ini adalah masalah politik dan ekonomi di Rusia, keinginan Putin untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun, dan obsesinya terhadap warisan sejarahnya sendiri!"
Namun demikian Putin kebal dengan kritikan. Invasi dan konflik bersenjata makin berkecamuk antara dua negara hingga saat ini. Barat mulai ikut campur. Mereka akan menyediakan tank, artileri hingga pesawat tempur. Sebaliknya, Putin mulai mengeluarkan ancaman. Barat dianggap sudah kelewat batas.