Bisnis.com, JAKARTA – PDI Perjuangan (PDIP) menyurati Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menolak penggunaan aplikasi sistem informasi rekapitulasi (Sirekap) dalam Pemilu 2024.
Sikap tersebut disampaikan PDIP melalui surat pernyataan penolakan nomor 2599/EX/DPP/II/2024 tertanggal 20 Februari 2024, yang ditandatangani oleh Ketua DPP PDIP Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto.
"PDI Perjuangan secara tegas menolak penggunaan Sirekap dalam proses rekapitulasi penghitungan perolehan suara hasil pemilu 2024 di seluruh jenjang tingkatan pleno," demikian bunyi poin keempat dalam surat tersebut, dikutip Bisnis pada Rabu (21/2/2024).
PDIP berpendapat, penolakan itu dilakukan karena terdapat permasalahan hasil penghitungan perolehan suara pada alat bantu Sirekap yang terjadi secara nasional.
Selain itu, partai berlogo kepala banteng tersebut juga menolak penundaan rekapitulasi perolehan suara dan penetapan hasil Pemilu di tingkap pleno PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) yang dijadwalkan ulang menjadi tanggal 20 Februari 2024. Alasannya, tidak ada keadaan darurat yang memaksa KPU untuk melakukan penundaan itu.
“PDI Perjuangan menilai, kegagalan Sirekap sebagai alat bantu dalam tahapan pemungutan dan penghitungan suara di TPS serta proses rekapitulasi hasil perolehan penghitungan suara di tingkap Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) adalah dua hal yang berbeda, sehingga penundaan tahapan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di tingkat PPK menjadi tidak relevan,” lanjut pernyataan tersebut.
Baca Juga
Itu sebabnya, PDIP lantas mendesak pengembalian proses rekapitulasi suara secara manual, sebagaimana ketentuan Pasal 393 ayat (3) Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum.
Selain menolak penggunaan Sirekap, PDIP juga menyatakan menolak keputusan KPU yang menunda tahapan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di tingkat pleno PPK.
“Karena dapat membuka celah kecurangan dalam tahapan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, serta melanggar asas kepastian hukum, efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas penyelenggaraan Pemilu 2024,” bunyi penegasan itu.
Kemudian, dalam poin terakhir, partai yang dinahkodai Ketum Megawati Soekarnoputri ini juga mendesak dilakukannya audit forensik digital atas penggunaan alat bantu Sirekap dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.
PDIP menuntut hasil audit forensik tersebut kemudian dibuka kepada masyarakat atau publik sebagai bentuk pertanggungjawaban KPU dalam menangani masalah itu.
Dorong DPR Gunakan Hak Angket
Berbagai upaya ditempuh kubu Ganjar-Mahfud dan kubu Anies-Muhaimin untuk membuktikan kecurangan terjadi di Pilpres 2024. Sebelumnya, kedua kubu paslon sepakat untuk mendorong DPR RI menggunakan hak angket.
Ganjar menilai, hak angket DPR bisa jadi salah satu upaya untuk meminta pertanggungjawaban para penyelenggara pemilu ihwal dugaan pelaksanaan Pilpres 2024 yang sarat dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Oleh sebab itu, mantan gubernur Jawa Tengah ini ingin partai politik pengusung yang ada di DPR RI yaitu PDIP dan PPP mengusulkan hak angket.
“Jika DPR tak siap dengan hak angket, saya mendorong penggunaan hak interpelasi DPR untuk mengkritisi kecurangan pada Pilpres 2024,” kata Ganjar, Senin (19/2/2024), dikutip dari rilis medianya.
Dia mengaku usulan untuk penggunaan hak angket itu sudah disampaikannya dalam rapat kordinasi Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud pada 15 Februari 2024.
Sementara itu, Anies Baswedan dikabarkan mendukung ide Ganjar yang mendorong penggunaan hak angket DPR dalam mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Ada AHY, Kubu Prabowo-Gibran Makin Pede
Pada saat PDIP terus berupaya membuktikan kecurangan Pilpres 2024 terjadi, Presiden Jokowi melantik Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi Menteri ATR/BPN. Partai Demokrat merupakan salah satu parpol pendukung paslon 02 Prabowo-Gibran.
Politisi PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Sitorus mengkritik Jokowi dengan menyebut reshuffle kabinet saat ini hanyalah ajang bagi-bagi kursi menteri. Apalagi, lanjutnya, AHY tidak punya latar belakang di bidang agraria.
"Ya ini lah namanya pembagian berdasarkan kongkalikong, bagi-bagi jatah, dan bukan berdasarkan kompetensi," kata Deddy kepada Bisnis, Selasa (20/2/2024).
Sebaliknya, Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto justru menilai keberadaan AHY di kabinet Jokowi menjadi indikator posisi oposisi pemerintah semakin sedikit. Dia pun menegaskan bahwa partainya akan menolak penggunaan hak angket DPR seperti usulan kubu Ganjar Mahfud.
"Ya kalau hak angket kan hak politisi DPR, tetapi partai Golkar dan koalisinya itu pasti akan menolak. Dan koalisi presiden sampai saat ini bertambah dengan Mas AHY masuk. Jadi yang di luar pemerintah semakin sedikit," ucap pria yang juga menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (21/2/2024).
Senada, Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto turut menilai bahwa Ganjar berhak untuk berpandangan perlunya hak angket. Namun, dia mengatakan bahwa PAN berpandangan bahwa Pilpres 2024 telah berjalan dengan lancar sehingga hak angket tidak diperlukan.
Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua MPR itu menolak hak angket agar tidak ada lagi silang sengketa di tengah masyarakat. Adapun kekurangan yang ada, lanjutnya, akan diperbaiki ke depannya.
"Tetapi jangan sampai membuat isu-isu yang mungkin bisa meresahkan masyarakat. Jadi bagi PAN, hak angket enggak perlu," tuturnya.