Bisnis.com, JAKARTA - Lembaga perlindungan pekerja migran Indonesia, Migrant Care mengungkap sejumlah dugaan kecurangan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang diselenggarakan di luar negeri.
Berdasarkan hasil pemantauan di sejumlah negara, Migrant Care mencatat kantong suara terbanyak pekerja migran Indonesia berada di Malaysia, Singapura, Taiwan dan Hong Kong. Malaysia dan Hong Kong menjadi dua negara yang dinilai paling rawan terjadi kecurangan.
Salah satu temuan dugaan kecurangan yang digarisbawahi oleh Migrant Care yakni oleh peserta Pemilu di Malaysia. Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengungkap salah satu dugaan kecurangan yang ditemukan oleh pihaknya yakni menyeret Uya Kuya, calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Amanat Nasional (PAN).
Untuk diketahui, selebritas itu berkontestasi untuk mendapatkan kursi DPR di Daerah Pemilihan (Dapil) Jakarta II (Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri). Wahyu menyebut Uya Kuya diduga melakukan upaya-upaya kampanye di Kuala Lumpur atau bukan di lokasinya tempat mencoblos.
"Kami juga akan laporkan ke Bawaslu soal pelanggaran tindak pidana pemilu karena melakukan kampanye pada hari-H pencoblosan yaitu dilakukan oleh Uya Kuya, di depan WTC, orang yang sedang registrasi di TPS," katanya pada konferensi pers 'Berbagi Temuan Dugaan Kecurangan Pemilu 2024' di Jakarta, dikutip dari siaran YouTube, Sabtu (17/2/2024).
Selain Uya Kuya, Wahyu menyebut pihaknya menemukan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh caleg DPR Jakarta II dari Partai Nasdem Teuku Adnan. Dugaan pelanggaran yang dilakukan yakni dugaan pemasangan poster kampanye Adnan di Kotak Suara Keliling (KSK) pemilihan di luar negeri.
Baca Juga
Di samping dugaan kecurangan yang ingin dilaporkan ke Bawaslu itu, Wahyu mengemukakan bahwa pelaksanaan Pemilu di luar negeri secara garis besar bermasalah. Misalnya, Migrant Care menyoroti metode Pos yang dinilai riskan mengalami penggabungan maupun perdagangan suara.
Contoh lain masalah pelaksanaan Pemilu di luar negeri tahun ini, lanjut Wahyu, seperti pemilihan waktu pemungutan suara yang mepet dengan Imlek dan Rabu Abu; kemerosotan angka partisipasi pemilih; DPT luar negeri yang sudah pulang namun tetap dikirimi surat suara luar negeri; serta intimidasi yang dialami tim Migrant Care dalam kegiatan-kegiatan pemantauan.
Sementara itu, salah satu kejadian pada Pemilu tahun ini yang menjadi sorotan Migrant Care yakni gagalnya sekitar 70.000 DPT di Hong Kong untuk menggunakan hak pilihnya. Hal itu lantaran perubahan mendadak mekanisme pencoblosan dari metode TPS ke metode Pos.
Alhasil, ratusan orang yang tidak mengetahui informasi soal perubahan metode itu mendatangi KJRI Hong Kong dan diceritakan sempat terjadi ketegangan. Para pemili itu mendesak dibukanya sistem verifikasi, guna mengetahui posisi surat dengan status return to sender atau terkirim.
Sementara itu, hanya 753 dari total 2.390 DPT yang mendapatkan metode pemilihan di TPS menggunakan hak pilihnya.