Bisnis.com, JAKARTA -- Mahasiswa di Yogyakarta bergerak dan menggaungkan lagi 'Gejayan Memanggil'. Gejayan adalah nama salah satu jalan ikonik bagi kalangan aktivis Yogyakarta. Di tempat ini, pada 8 Mei 1998 lalu, para mahasiswa dari berbagai kampus melakukan unjuk rasa menentang rezim daripadanya Soeharto. Bentrokan pecah, aparat represif dan seorang mahasiswa menjadi martir.
Gejayan juga menjadi simpul perlawanan para mahasiswa ketika gerakan 'Reformasi Dikorupsi' yang menentang amandemen Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK). Gejayan Memanggil viral pada waktu itu. Mahasiswa memprotes kongsi pemerintah dan DPR yang berupaya melemahkan KPK.
Tahun ini, 2 hari sebelum pemilihan umum atau pemilu 2024, Gejayan Memanggil bergaung lagi. Mahasiswa turun ke jalan. Mereka awalnya berkumpul di bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM) kemudian bergerak ke perempatan Gejayan.
Sejatinya, sebelum aksi Gejayan memanggil berlangsung, ada beberapa gerakan yang sudah dilakukan oleh para civitas akademika di kota Yogyakarta. Protes paling keras disampaikan oleh para guru besar di Universitas Gadjah Mada (UGM), almamater Presiden Jokowi. Para guru besar dan cerdik pandai UGM meminta Jokowi untuk kembali ke jalur demokrasi.
Protes dari kalangan guru besar UGM itu juga diwarnai oleh pembacaan puisi berjudul 'Wahai Pengusaha Kami Lapar' yang dibacakan oleh guru besar kebijakan publik, Wahyudi Kumorotomo. Salah satu penggalan puisinya adalah:
"Bansos terasa asam di lidahku. Kami tetap lapar dan dahaga. Wahai penguasa kami menunggu kehadiranmu dan kami lapar. Bagi orang-orang lapar tidak ada kata-kata lain kecuali: lawan!."
Baca Juga
Aksi Gejayan Memanggil merupakan sebuah akumulasi dari kegelisahan kelompok pelajar di Yogyakarta terhadap tindak tanduk Presiden Joko Widodo dan para kroninya. Isu yang muncul adalah tentang netralitas Jokowi selama Pemilu 2024 hingga aksi 'brutal' pemerkosaan konstitusi demi meloloskan salah satu kandidat ke Pilpres 2024.
Nuansa perlawanan 'Gejayan Memanggil' terhadap Jokowi makin tampak dari tiga spanduk besar yang dibentangkan di papan reklame. Salah satu spanduk menampilkan ilustrasi guillotine yang memenggal kepala manusia berhidung panjang, mirip pinokio. Spanduk itu juga berisi kalimat "Hancurkan dan Adili (Rezim) Jokowi!"
Ilustrasi guillotine dan kepala penguasa yang terpenggal, mengingatkan kembali kisah Revolusi Prancis pada abad ke 18 lalu. Pada waktu itu, rakyat Prancis melawan penguasa mereka, Louis XVI dan ratunya Marie Antoinette. Louis XVI adalah simbol dari monarki absolut. Sedangkan istrinya, Marie, dikenal bergaya hidup mewah dan menghambur-hamburkan uang kerajaan.
Di sisi lain, rakyat Prancis hidup dalam ketidakpastian karena krisis ekonomi. Ada nuansa konflik klas hingga kecurigaan terhadap gaya hidup mewah kalangan istana. Konflik itu kemudian terakumulasi dengan pecahnya Revolusi Prancis pada 1879-1899.
Revolusi Prancis ditandai peristiwa penyerbuan Bastille dan berakhir dengan dihapuskannya sistem monarki absolut di Prancis. Raja Loius XVI dan Marie Antoinette kemudian dieksekusi, kepalanya dipenggal menggunakan guillotine pada 1793. Revolusi itu menandai era baru bagi negara Prancis yang liberte, egalite, fraternite.
Entah ada kaitannya atau tidak antara kisah runtuhnya monarki absolut Prancis dengan aksi Gejayan Memanggil, namun yang jelas ilustrasi guillotine yang memenggal kepala pria mirip pinokio, sangat ikonik pada saat aksi berlangsung.
Apalagi salah satu tuntutan mahasiswa di Gejayan Memanggil sangat jelas dan kentara: adili Jokowi dan kroni-kroninya serta menuntut permintaan maaf para intelektual dan budayawan yang mendukung politik dinasti.