Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

16 Menteri Mundur karena Beda Haluan Politik dan Mosi Tidak Percaya, Kisah Kejatuhan Kabinet Pertama RI

Perbedaan haluan politik dan mosi tidak percaya parlemen menyebabkan 16 menteri mundur dari kabinet pertama RI setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat.
Sejumlah menteri mundur setelah Kabinet Natsir dibubarkan pada 20 Maret 1950/Ipphos
Sejumlah menteri mundur setelah Kabinet Natsir dibubarkan pada 20 Maret 1950/Ipphos

Bisnis.com, JAKARTA —  Mundurnya anggota kabinet dari pemerintahan dalam proses politik atau menyangkut perbedaan haluan politik, seperti halnya yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD jelang Pilpres 2024 bukan hal baru di Indonesia.

Mahfud MD mundur dari jabatannya sebagai Menko Polhukam di Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin pada 31 Januari 2024.  

Mahfud menyampaikan pengunduran dirinya dari Kabinet Jokowi-Ma'ruf di kawasan Danau Tirta Gangga, Seputih Banyak, Lampung Tengah, Rabu (31/1/2024) siang.

“Keputusan ini merupakan bagian dari etika yang harus dijaga karena saat ini mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden mendampingi Ganjar Pranowo [paslon nomor urut 3],” katanya, kemarin.

Menteri mundur sejatinya adalah hal yang cukup lazim terjadi dalam sejarah pemerintahan di Indonesia.

Pada saat reformasi 1998 atau tepatnya 20 Mei 1998, 14 menteri dalam Kabinet pembangunan VII Presiden Soeharto juga mundur. Sehari setelahnya, yaitu pada 21 Mei 1998, Soeharto pun kecewa dengan para jajaran menterinya dan akhirnya mundur setelah memimpin Indonesia selama 32 tahun. Jauh sebelum itu, sejumlah menteri ramai-ramai mundur juga pernah terjadi lima tahun setelah Indonesia merdeka.

Saat Republik Indonesia Serikat (RIS) bubar (27 Desember 1949—17 Agustus 1950) dan Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibentuklah kabinet pertama, yaitu Kabinet Natsir.

Kabinet Natsir adalah kabinet pertama yang bertugas sejak 7 September 1950—21 maret 1951 dengan Perdana Menteri selaku kepala pemerintahan M. Natsir dan wakilnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Kabinet Natsir yang terdiri dari 18 menteri adalah kabinet koalisi yang berintikan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai terbesar di parlemen yang diketuai oleh Natsir sendiri.

Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai kedua terbesar di parlemen tidak ikut dalam kabinet karena merasa tidak diberikan kedudukan yang sesuai. Inilah yang kelak menyebabkan terjadinya kegagalan dalam Kabinet Natsir.

Adapun, partai-partai politik (parpol) lain dalam kabinet koalisi tersebut adalah Persatuan Indonesia Raya (PIR), Faksi Demokratik, Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Katolik, Partai Kristen Indonesia, Partai Indonesia Raya (Parindra),  dan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

Daftar Menteri Kabinet Natsir:

  1. Perdana Menteri M. Natsir (Masyumi)
  2. Wakil Perdana Menteri Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Independen)
  3. Menteri Luar Negeri m. Roem (Masyumi)
  4. Menteri Dalam Negeri Assaat (Independen)
  5. Menteri Pertahanan Abdul Halim (Independen)
  6. Menteri Kehakiman Wongsonegoro (PIR)
  7. Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara (Masyumi)
  8. Menteri Pertanian Tandiono Manu (PSI)
  9. Menteri Perdagangan dan Perindustrian Sumitro Djojohadikusumo (PSI)
  10. Menteri Perhubungan Djuanda Kartawidjaja (Independen)
  11. Menteri Penerangan Melkias Agustinus Pellaupessy (Demokrat)
  12. Menteri Pekerjaan Umum Herman Johannes (PIR)
  13. Menteri Perburuhan Pandji Suroso (Parindra)
  14. Menteri Sosial Fredericus Soetrisno Harjadi (Partai Katolik)
  15. Menteri Pendidikan Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Djohan (Independen)
  16. Menteri Agama Wahid Hasjim (Masyumi)
  17. Menteri Kesehatan Johannes Leimena (Partai Kristen Indonesia)
  18. Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (PSII)

Kala itu, pada 18 Desember 1950, putra dari H.O.S. Tjokroaminoto, yaitu Menteri Negara Bidang Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara Harsono Cokroaminoto, yang kelak pada masa pemerintahan Presiden Soeharto menjabat sebagai Duta Besar Swiss (Maret 1972—Maret 1975), mundur dari Kabinet Natsir karena partainya, yaitu PSII, keluar dari Kabinet Natsir.

Sebelumnya, pada 8 Desember 1950, Menteri Keamanan Rakyat Abdul halim juga mundur karena alasan kesehatan dan kemudian digantikan  oleh Sri Sultan.

Harian Waspada edisi 21 Maret 1951 melaporkan bahwa pada 20 Maret 1951 Kabinet Natsir akhirnya jatuh akibat terjadinya berbagai kesulitan, dari mulai kegagalan menyelesaikan masalah Irian Barat, sejumlah aksi pemberontakan hingga mosi parlemen terhadap pemerintah yang dikenal dengan nama Mosi Hadikusumo.

Kala itu, Anggota Parlemen Soekria Hadikusumo dari PNI menyatakan mosi tidak percaya menyangkut dikeluarkannya PP No. 39/1950 tentang Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sementara dan DPRDS di daerah. Dia menganggap Masyumi diuntungkan oleh PP tersebut.

Mosi tidak percaya itu kemudian mendorong Menteri Dalam Negeri Assaat mengajukan pengunduran diri, namun ditolak oleh Natsir.

Tepat pada 20 Maret pagi, setelah Mosi tidak percaya Hadikusumo hendak dibahas kembali di parlemen, partai-partai opisisi ternyata menolak hadir dan menganggap Mosi tidak percaya Hadikusumo sudah otomatis diterima parlemen.

Malam harinya, sekitar pukul 20.00 WIB, Natsir pun secara resmi menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno dan para menteri di dalam Kabinet Natsir pun mengundurkan diri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Gajah Kusumo
Editor : Gajah Kusumo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper