Bisnis.com, JAKARTA — Penambahan anggaran guna memacu jumlah sumber daya manusia (SDM) berpendidikan tinggi dan memperkuat riset menjadi fokus perhatian utama Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada akhir masa jabatannya.
Fokus itu tampaknya dilatarbelakangi kekhawatiran Kepala Negara akan fakta bahwa rasio penduduk berpendidikan S2 dan S3 terhadap populasi produktif di Indonesia cukup rendah yaitu di angka 0,45 persen. Selain itu, anggaran riset Indonesia masih terbilang rendah dibandingkan sederet negara maju, dan juga negara berkembang, seperti Vietnam.
Fakta itu diungkapkan Jokowi saat membuka Konvensi XXIX dan Temu Tahunan XXV Forum Rektor Indonesia yang diselenggarakan di Graha Unesa Kampus II, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, pada Senin (15/1/2024).
Di hadapan para rektor perguruan tinggi se-Tanah Air, pria asa Surakarta itu mengemukakan bahwa Vietnam sudah lebih berkembang lantaran sangat menghargai periset. Satu perusahaan swasta di Vietnam, jelasnya, bahkan memiliki 2.400 peneliti.
Tak mengherankan, Jokowi khawatir bahwa pendapatan per kapita Indonesia berpotensi disalip oleh Vietnam. Padahal, Vietnam baru merdeka pada 1975 atau berselisih 30 tahun dengan Indonesia.
"Vietnam income per capita-nya kira-kira US$4300. Kita sekarang sudah kira-kira US$5100. Mereka ngebut kencang dan hati-hati income per capita-nya hampir melampaui kita," jelasnya.
Baca Juga
Selain Vietnam, jelas mantan Gubernur DKI Jakarta ini, China juga patut menjadi rujukan karena sangat menghargai periset sehingga ekonominya dapat melesat.
Hal itu juga tercermin dari sisi anggaran penelitian atau risetnya (research and development/R&D). Berdasarkan laporan dari lembaga R&D World, pada 2022 ada US$2,476 triliun dana riset di seluruh dunia atau meningkat 5,43% dibandingkan 2021 yang mencapai US$2,348 triliun.
Posisi pertama ditempati oleh Amerika Serikat (AS) dengan pengeluaran kotor untuk riset sebesar US$679,4 miliar. China berada pada posisi kedua dengan pengeluaran kotor litbang mencapai US$551,1 miliar. Jepang berada di posisi ketiga dengan pengeluaran kotor US$182,2 miliar pada 2022.
Posisi keempat dan kelima ditempati Jerman dan Korea Selatan dengan pengeluaran kotor untuk riset masing-masing sebesar US$143,1 miliar dan US$106,1 miliar pada 2022.
Pada periode yang sama, Prancis memiliki pengeluaran kotor untuk riset hingga US$68,5 miliar, India di US$65,2 miliar, dan Inggris US$54,9 miliar, sedangkan Rusia mencapai US$52,2 miliar, dan Brasil di posisi kesepuluh dengan anggaran US$37 miliar.
Sayangnya, dari 40 negara yang ditampilkan R&D World, Indonesia duduk di bangku nomor 34 dengan penganggarannya sebesar US$8,2 miliar pada 2022. Bahkan, Indonesia adalah negara dengan rasio penganggaran riset terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) paling rendah, yang hanya sebesar 0,24% pada 2022.
Kendati rasionya meningkat cukup signifikan dibandingkan pada 2013 yang hanya mencapai 0,1% PDB, alokasi anggaran untuk R&D di Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara maju.