Bisnis.com, JAKARTA - Calon Presiden (Capres) nomor urut 2 Prabowo Subianto menyebut tahanan politik dan korban penculikan pada 1998 kini mendukung dirinya.
Hal itu disampaikan Prabowo dalam Debat Perdana Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Jakarta, Selasa (12/12/2023).
"Saya merasa bahwa saya yang sangat keras membela HAM, nyatanya orang-orang yang ditahan, tapol-tapol [tahanan politik] yang katanya saya culik, sekarang ada di pihak saya, membela saya," ujarnya.
Berdasarkan pantauan melalui siaran langsung di YouTube KPU, pernyataan Prabowo itu disambut riuh pendukungnya di belakangnya seperti Andi Arief dan Budiman Sudjatmiko.
Berdasarkan catatan Bisnis, klaim Prabowo itu telah disoroti oleh lembaga seperti Amnesty International Indonesia. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mempertanyakan langkah politik korban penculikan dan penghilangan paksa pada Tragedi 1998 yang mendukung calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto.
Usman mencontohkan elite Partai Demokrat Andi Arief yang pernah jadi korban penculikan. Meski demikian, kini dia turut mendukung Prabowo. Dia juga menyebut nama Budiman Sudjatmiko. Meski Budiman bukan korban penghilangan, Usman tetap mempertanyakan solidaritas eks petinggi PRD itu dengan aktivis yang pernah disiksa dan bahkan ada yang hilang sampai saat ini.
Baca Juga
"Saya kira terlalu terlihat pragmatis dan mungkin itu yang menyebabkan mereka bergabung, bukan karena asalan HAM, tapi karena alasan-alasan kepentingan jangka pendek politik," ungkapnya.
Mengenai hal tersebut, Dosen Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Asmin Fransiska menilai standar penyelesaian kasus kejahatan HAM bukan didasari dari dukungan apalagi dukungan politik.
Menurutnya, terutama untuk kejahatan HAM berat, terdapat prinsip bahwa negara memiliki kewajiban untuk menghukum (obligation to punish/ duty to prosecute).
"Kepastian ketidakberulangan dibuktikan dengan akuntabilitas negara yaitu memastikan kasus tersebut diungkap secara benar [truth] dan adil [justice]. Juga, memastikan korban memperoleh remedi (the right to remedy) dan reparasi (the right to reparation), bukan memberikan klaim/posisi politik tertentu," ujar Fransiska.
Untuk diketahui, artikel ini adalah hasil kolaborasi Aliansi Jurnalis Independen, Asosiasi Media Siber Indonesia, Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia, Cekfakta.com bersama 18 media di Indonesia.