Bisnis.com, JAKARTA – Penjabat (PJ) Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Lalu Gita Ariandi mengaku ditanya penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai izin usaha perusahaan tambang, dalam kasus dugaan korupsi Wali Kota Bima Muhammad Lutfi.
Penyidik disebut menanyakan soal izin usaha PT Tukad Mas General Construction kepada Lalu yang menghadiri pemeriksaan hari ini di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (21/11/2023). Dia mengklaim mendapatkan sekitar 15 pertanyaan dari penyidik selama 2,5 jam pemeriksaan.
Lalu mengatakan bahwa pertanyaan dari penyidik kepadanya seputar fungsinya sebagai bagian dari Pemerintah Provinsi NTB, serta hubungannya dengan Lutfi. Dia juga mengaku mendapatkan pertanyaan soal izin usaha PT Tukad Mas General Construction, yang bergerak di bidang pertambangan.
"Pertanyaan terkait substansi bagaimana proses penerbitan izin dari izin usaha pertambangan operasi khusus PT Tukad Mas. Pada saat itu saya menjadi Kepala Dinas DPMPTSP Provinsi Nusa Tenggara Barat, [yang mengurus, red] perizinan," katanya kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (21/11/2023).
Lalu menyebut pernah menjadi Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pemprov NTB. Dia juga menyebut pernah menduduki jabatan Sekda.
Terkait dengan jabatannya di DPMPTSP NTB, Lalu ditanya soal kelengkapan persyaratan PT Tukad Mas saat perusahaan tersebut mengajukan penerbitan izin. Dia mengaku penerbitan izin untuk PT Tukad Mas sudah sesuai dengan SOP.
Saat ditanya mengenai hubungan PT Tukad Mas dengan Lutfi, Lalu enggan menjawab. Dia menyampaikan bahwa penyidik hanya mendalami keterangannya soal proses perizinan perusahaan tambang itu.
"Pada saat itu saya keluarkan [izin usahanya] 2 Oktober 2019 kemudian tanggal 19 Desember 2019 saya menjadi Sekda Provinsi Nusa Tenggara Barat, sehingga proses setelah izin keluar saya tidak ikuti perkembangannya," tuturnya.
Adapun KPK mengatakan Lalu diperiksa sebagai saksi atas tersangka Wali Kota Bima Muhammad Lutfi. KPK juga memanggil sejumlah saksi lain yakni Direktur PT Bumi Mahamarga Bambang Hermanto, serta dua karyawan swasta yakni Alfonsius Alexander dan Angga Saputro.
KASUS WALI KOTA BIMA
Adapun KPK resmi menahan Wali Kota Bima periode 2018-2023 Muhammad Lutfi setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan barang dan jasa disertai penerimaan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Kota Bima, NTB.
"Karena kebutuhan dan kepentingan proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka MLI selama 20 hari pertama terhitung 5 Oktober 2023 sampai dengan 24 Oktober 2023 di Rutan KPK," kata Ketua KPK Firli Bahuri di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (5/10/2023).
Firli menjelaskan kasus yang menjerat Lutfi berawal pada sekitar 2019. Saat itu Lutfi bersama dengan salah satu anggota keluarga intinya mulai mengondisikan proyek-proyek yang akan dikerjakan oleh Pemerintah Kota Bima.
Lutfi lalu diduga meminta dokumen berbagai proyek yang ada di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pemkot Bima.
Dengan memanfaatkan jabatannya, dia diduga memerintahkan beberapa pejabat di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk membuat berbagai proyek yang memiliki nilai anggaran besar dan proses penyusunannya dilakukan di rumah dinas jabatan Wali Kota Bima.
Nilai proyek di Dinas PUPR dan BPBD Pemkot Bima untuk Tahun Anggaran 2019-2020 mencapai puluhan miliar rupiah.
Lutfi kemudian secara sepihak langsung menentukan para kontraktor yang akan dimenangkan dalam lelang proyek-proyek dimaksud.
Proses lelang tetap berjalan akan tetapi hanya sebagai formalitas semata, dan faktanya para pemenang lelang tidak memenuhi kualifikasi persyaratan sebagaimana ketentuan.
Atas pengondisian tersebut, Lutfi menerima setoran uang Rp8,6 miliar dari para kontraktor yang dimenangkan.
Salah satu proyek yang terlibat dalam perkara tersebut antara lain Proyek pelebaran jalan Nungga Toloweri dan Pengadaan listrik dan penerangan jalan umum di perumahan Oi'Foo.
Teknis penyetoran uang kepada Lutfi dilakukan melalui transfer rekening bank atas nama orang-orang kepercayaan Lutfi, termasuk anggota keluarganya
Penyidik KPK juga menemukan dugaan penerimaan gratifikasi dalam bentuk uang oleh Lutfi, dari sejumlah pihak, dan tim penyidik KPK akan terus melakukan pendalaman lebih lanjut.
Atas perbuatannya, yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 12 huruf (i) dan atau 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.