Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Megawati Effect vs Jokowi Effect, Siapa Paling Moncer?

Megawati dan Jokowi adalah dua sosok yang berperan strategis bagi kinerja elektoral PDIP.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kanan) bersama Presiden Joko Widodo (tengah) dan bacapres Ganjar Pranowo (kiri) mengikuti pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDI Perjuangan di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (29/9/2023). Rakernas IV PDI Perjuangan mengangkat tema kedaulatan pangan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Spt.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kanan) bersama Presiden Joko Widodo (tengah) dan bacapres Ganjar Pranowo (kiri) mengikuti pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDI Perjuangan di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (29/9/2023). Rakernas IV PDI Perjuangan mengangkat tema kedaulatan pangan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/Spt.

Bisnis.com, JAKARTA -- Sudah sekian dasawarsa, PDI Perjuangan (PDIP) selalu identik dengan sosok Megawati Soekarnoputri. Mega adalah simbol di PDIP. Dia memiliki peran cukup sentral, tidak hanya sebagai ketua umum partai, tetapi sebagai sosok yang berhasil membawa suara kaum merah, pendukung PDI, bangkit dari represi pemerintahan Orde Baru.

PDI adalah nama lama PDIP. Partai ini lahir 50 tahun silam atau 10 Januari 1973 dari kebijakan 'kawin paksa' Orde Baru terhadap kubu atau partai politik yang berhaluan nasionalis, Sukarnois, Murbais, partai agama.

Kendati terdiri dari banyak latar belakang, kehadiran PDI merepresentasikan suara kaum nasionalis. Ideologi PDI juga dekat dengan pendahulunya, Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Sukarno, yakni Marhaenisme.

Basis pemilih PDI pun juga mewarisi lumbung suara PNI di wilayah Bali, Jawa Tengah hingga Jawa Timur, khususnya kawasan Mataraman.

Sayangnya sejak kemunculannya, capaian suara PDI tidak pernah mengulang kejayaan PNI. Pada Pemilu 1977, misalnya, PDI hanya memperoleh 8,6 persen suara atau 29 kursi di DPR. 

Perolehan kursi ini terpaut jauh dibandingkan PPP yang memperoleh 99 kursi atau penguasa parlemen Golkar yang meraup 232 kursi. Kondisi itu terulang pada Pemilu 1982. Capaian suara PDI tak pernah tembus di angka 10 persen. 

Nasib PDI di parlemen mulai moncer pada Pemilu 1987. Suara PDI melesat dibandingkan dua pemilu lalu. Partai berlambang kepala banteng itu memperoleh lebih dari 10 persen suara. Jumlah kursi di parlemen menjadi 40 kursi atau naik 16 kursi dari periode pemilu sebelumnya.

Tren peningkatan suara PDI kembali terulang pada Pemilu 1992. Golkar partai penguasa Orde Baru kendati masih dominan suaranya turun 5,1 persen. Suara PPP naik menjadi 17 persen. PDI partai yang menjadi anak tiri Orde Baru suaranya meroket dari 10,9 persen menjadi 14,9 persen atau naik 4 persen.

Efek Trah Sukarno

Banyak pihak yang berpendapat meroketnya suara PDI adalah implikasi dari keberadaan trah Sukarno di partai kepala banteng. Trah Sukarno yang dimaksud adalah Megawati Soekarnoputri. 

Sebagian sumber yang mengaitkan kemunculan Megawati dengan sepak terjang Jenderal Leonardus Benny Moerdani. Benny Moerdani adalah tokoh militer sekaligus orang paling berpengaruh setelah Soeharto pada awal dekade 1980-an.

Konon Benny mulai jengah dengan tindak tanduk keluarga dan anak-anak Soeharto. Dia ingin ada perimbangan politik. Benny kemudian membujuk trah Sukarno untuk terjun ke politik praktis.

Eksperimen Jenderal tempur sekaligus pemikir tersebut rupanya berhasil. Mega dengan sekejap menjadi tokoh di PDI. Suara PDI langsung melesat. Kongres PDI di Surabaya pada tahun 1993, bahkan memilih Megawati sebagai Ketua PDI. 

Popularitas Mega rupanya mulai mengusik Orde Baru. Soeharto menganggap Megawati sebagai ancaman. Dia kemudian berupaya sekeras mungkin untuk menyingkirkan Megawati. Salah satunya dengan memilih Soerjadi sebagai Ketua PDI dalam Kongres Medan. 

Kubu Megawati menolak Soerjadi, konflik internal di PDI kemudian berkecamuk. Kritik terhadap Orde Baru semakin deras meluncur dari PDI Mega. Puncaknya, peristiwa 27 Juli 1996 terjadi. Saat itu massa PDI Soerjadi, dibantu ABRI, menyerang kantor PDI yang dikuasai kubu Megawati. Puluhan orang tewas dan hilang.

Meski demikian, MC Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2008 menulis bahwa represi dan aksi kekerasan yang dijalankan Orde Baru ternyata gagal membendung laju PDI Megawati. Sebaliknya, nama Megawati justru semakin populer. 

Popularitas Megawati kelak menjadi kunci bagi kesuksesan PDI, yang kemudian pada tahun 1999 berubah namanya menjadi PDI Perjuangan (PDIP). 

Lewat tangan dingin Megawati partai berlambang banteng moncong putih tersebut menikmati pait getirnya reformasi. Pada Pemilu multi partai tahun 1999, PDIP berhasil menjadi partai pemenang dengan 33,7 persen suara. Sayangnya meski tampil sebagai pemenang pemilu, Megawati gagal menjadi presiden setelah kalah voting melawan Gus Dur.

Kesuksesan PDIP juga tak berlangsung lama, pada Pemilu 2004, suara PDIP turun cukup signifikan. PDIP hanya memperoleh suara sebanyak 18,9 persen, tren ini berlanjut pada tahun 2009 yang hanya sebanyak 14 persen suara.

Anjloknya suara PDIP tersebut pararel dengan turunnya popularitas sosok sentral Megawati Soekarnoputri karena perubahan pola politik dan sejumlah skandal selama dia menjabat sebagai Presiden menggantikan Gus Dur.

Efek Jokowi

Pada tahun 2014, situasinya agak berbalik, sosok Joko Widodo (Jokowi) berhasil meningkatkan elektabilitas partai. Hasilnya pada pemilu 2014 PDIP kembali menjadi partai mayoritas dengan suara 18,9 persen suara. Kinerja positif tersebut berhasil mengantarkan Joko Widodo sebagai Presiden RI.

Tren positif perolehan suara berlanjut pada tahun 2019. PDIP memperoleh 19,3 persen dan mengantarkan Jokowi untuk kedua kalinya menjabat sebagai presiden.

Sementara itu tahun 2024 efek Jokowi masih memberikan efek elektoral kepada partai berlambang banteng itu. Hasil sigi lembaga survei membuktikan bahwa kimerja moncer PDIP tidak lepas dari sosok Jokowi.

Survei Indikator Politik pada periode 2 sampai 10 Oktober, menunjukkan bahwa sebanyak 21,9 orang memilih PDIP karena suka dengan Jokowi. Sementara jumlah orang yang terbiasa memilih PDIP versi Indikator Politik sebanyak 27,3 persen. Jumlah kategori kedua ini kalah dibandingkan Golkar. Para responden yang menyatakan terbiasa memilih Golkar mencapai 44,7 persen.

Kendati demikian, survei Indikator Politik itu belum memotret tren alasan orang memilih partai pasca penetapan Prabowo Subianto dan anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai presiden. Yang jelas jika mencermati data survei tersebut, elektabilitas PDIP pada periode 2-10 Oktober mencapai 22 persen.

Menariknya pada periode survei 27 Oktober sampai dengan 1 November 2023, elektabilitas PDIP tetap tinggi, berada di angka 24,1 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper