Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menanggapi komentar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman bahwa para Ketua MK lainnya pernah memiliki konflik kepentingan dalam memutus suatu perkara.
Sebagai informasi, hal tersebut disampaikan oleh Anwar pada konferensi pers, Rabu (8/11/2023), usai pemberhentian dirinya secara tidak hormat dari jabatan Ketua MK berdasarkan putusan etik. Pemberhentian Anwar imbas dari putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023 mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres).
Adapun, Mahfud mengaku tak ingat secara rinci mengenai perkara yang pernah diputus olehnya sebagaimana dimaksud Anwar. Namun, dia memastikan tidak ada konflik kepentingan pribadi di dalam perkara yang diputus olehnya lantaran institusi MK secara keseluruhan yang menjadi pokok uji materi.
"Enggak [ingat]. Memang pernah dulu ada gugatan, tetapi tidak ada conflict of interest hakim itu. Institusi semuanya yang diuji," katanya kepada wartawan di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (9/11/2023).
Tidak hanya itu, Ketua MK periode 2008-2013 itu mengatakan bahwa tidak ada hakim yang tidak setuju untuk menyidangkan perkara dimaksud. Menurutnya, hal tersebut lantaran perkara tersebut tak bersinggungan dengan pribadi hakim.
"Karena tidak ada hakim yang sifatnya pribadi punya ikatan dengan [perkara] itu. Itu institusi, semua hakim sama," katanya.
Baca Juga
Untuk diketahui, Anwar Usman diberhentikan dari jabatan Ketua MK imbas putusan mengenai batas usia capres-cawapres. Putusan itu dinilai banyak pihak memuluskan jalan bagi putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ikut kontestasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 kendati belum berumur 40 tahun. Jokowi merupakan ipar dari Anwar, dan Gibran merupakan keponakannya.
Pada konferensi pers, Rabu (8/11/2023), Anwar sempat menyinggung bahwa para Ketua atau Hakim MK terdahulu juga pernah menyidangkan perkara yang diduga memiliki konflik kepentingan.
Dia mencontohkan putusan perkara No.004/PUU-I/2003, Putusan 066/PUU-II/2004, dan Putusan Nomor 5/PUUIV/2006 yang membatalkan Pengawasan KY Terhadap Hakim Konstitusi, pada periode Ketua MK Jimly Ashiddiqie atau Ketua MKMK yang putusan memberhentikan Anwar.
Kemudian, dia mencontohkan Putusan No.48/PUU-IX/2011 serta Putusan No.49/PUU-IX/2011 di era Ketua MK Mahfud MD. Untuk diketahui, perkara No.49/PUU-IX/2011 terkait dengan permohonan uji materi terhadap beberapa pasal pada Undang-undang (UU) No.8/2011 tentang MK, salah satunya yakni mengenai pasal 15 ayat (2) huruf d.
Saat itu, para pemohon menggugat Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, yang masing-masing mengatur bahwa calon hakim konstitusi harus berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun, serta frasa "dan/atau pernah menjadi pejabat negara" mengenai syarat calon hakim konstitusi.
Sementara itu, perkara pada No.48/PUU-IX/2011 berkaitan dengan uji materi terhadap pelarangan Ultra Petita dalam Pasal 45A serta pembatasan pada pasal 57 ayat (2a) huruf a dan huruf c UU MK.
Selain pada periode Jimly dan Mahfud, Anwar turut menyinggung putusan perkara No.97/PUUXI/2013, No.1-2/PUU-XII/2014 yang membatalkan Perppu MK di era Kepemimpinan Hamdan Zoelva; Perkara No.53/PUUXIV/2016 dan No.53/PUU-XIV/2016 di era Arief Hidayat.
"Selanjutnya Putusan Perkara No.96/PUU-XVIII/2020. Dalam putusan tersebut, terhadap pengujian Pasal 87A karena norma tersebut menyangkut jabatan Ketua dan Wakil Ketua, dan ketika itu saya adalah Ketua MK, meskipun menyangkut persoalan diri saya langsung, namun saya tetap melakukan dissenting opinion, termasuk kepentingan langsung Prof. Saldi Isra dalam pasal 87b terkait usia yang belum memenuhi syarat," jelas Anwar dalam keterangannya.