Bisnis.com, SOLO - Masyarakat dunia mulai menggaungkan lagi simbol dukungan untuk Palestina, yakni melalui gambar semangka.
Gambar semangka ini kemudian disematkan netizen pada nama hingga foto profil mereka di berbagai media sosial.
Meskipun terlihat tidak nyambung, namun ternyata buah semangka ini merepresentasikan Palestina karena warnanya yang mirip.
Semangka memiliki warna yang sama seperti bendera Palestina yakni merah, hijau, putih, dan hitam. Akhirnya simbol semangka dipakai untuk memperlihatkan dukungan, dan protes terhadap agresi militer Israel.
Lantas apa arti semangka sebagai simbol perlawanan ini? Bagaimana sejarahnya?
Melansir dari Aljazeera, semangka menjadi simbol untuk Palestina bukan hanya karena warnanya saja yang mirip. Uniknya, buah ini juga tumbuh di seluruh Palestina, dari Jenin hingga Gaza.
Baca Juga
Dalam sejarahnya, semangka menjadi simbol perlawanan warga Palestina sejak perang tahun 1967. Simbol ini digunakan sebagai bentuk protes terhadap wilayah yang direbut Israel.
Saat itu, Israel telah melarang pengibaran bendera Palestina di depan umum sebagai bentuk kriminal. Penggunaan bendera Palestina pun dilarang.
Namun untuk merepresentasikan Palestina, semangka dipilih karena apabila buah tersebut dipotong, warnanya sama dengan bendera Palestina—merah, hijau, hitam, dan putih.
Seniman Sliman Mansour pernah mengatakan kepada The National pada tahun 2021, di mana pada tahun 1980 para pejabat Israel menutup sebuah pameran di Galeri 79 di Ramallah.
Galeri itu menampilkan karya-karyanya, dan juga seniman lain seperti Nabil Anani dan Issam Badrl.
"Mereka mengatakan kepada kami bahwa melukis bendera Palestina dilarang, tetapi warnanya juga dilarang. Lalu Issam berkata, 'Bagaimana jika saya membuat bunga berwarna merah, hijau, hitam dan putih?", yang dijawab dengan marah oleh petugas, 'Itu akan disita. Bahkan jika Anda melukis semangka, itu akan disita,'" kata Mansour.
Simbol semangka sebagai perlawanan ini kemudian dikenalkan kembali oleh seniman Khaled Hourani melalui The Story of the Watermelon untuk sebuah buku berjudul Subjective Atlas of Palestine pada 2007.