Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Alasan MK Putuskan Usia Minimal Capres-cawapres Inkonstitusional Bersyarat

MK menyatakan syarat minimal usia capres-cawapres inkonstitusional bersyarat karena bersifat diskriminatif.
Ilustrasi - Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang di Gedung MK, Jakarta, Senin (2/10/2023). Majelis hakim MK menolak permohonan para pemohon untuk perkara nomor 40/PUU-XXI/2023 karena dinilai tidak beralasan menurut hukum. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.
Ilustrasi - Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memimpin sidang putusan uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang di Gedung MK, Jakarta, Senin (2/10/2023). Majelis hakim MK menolak permohonan para pemohon untuk perkara nomor 40/PUU-XXI/2023 karena dinilai tidak beralasan menurut hukum. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/hp.

Bisnis.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan syarat minimal usia capres-cawapres inkonstitusional bersyarat karena bersifat diskriminatif dan sudah banyak pemimpin negara lain yang berusia di bawah 40 tahun.

Alasan itu MK sampaikan dalam rapat pleno pembacaan putusan perkara bernomor 90/PUU-XXI/2023 pada Senin (16/10/2023). Dalam perkara itu, pemohon meminta seorang bisa menjadi capres-cawapres dengan syarat usia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah.

MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon dan menetapkan Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 inkonstitusional bersyarat dan tidak memiliki hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah menjelaskan, batas usia capres-cawapres tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945. Oleh sebab itu, MK melihat pengalaman negara lain yang sudah banyak pemimpin berusia di bawah 40 tahun.

Selain itu, agar tidak adanya diskriminasi serta guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada generasi muda atau milenial untuk berkiprah dalam konstestasi pemilihan presiden, maka MK mengakomodir syarat lain yang disetarakan dengan usia yang dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang untuk dapat turut serta dalam kontestasi pemilihan presiden.

"Karena membuka peluang putera-puteri terbaik bangsa untuk lebih dini berkontestasi dalam pencalonan, in casu sebagai presiden dan wakil presiden. Terlebih, jika syarat presiden dan wakil presiden tidak dilekatkan pada syarat usia namun diletakkan pada syarat pengalaman pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu [elected officials]. Sehingga, tokoh figur tersebut dapat saja, dikatakan telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman," jelas Guntur saat membacakan pertimbangan.

MK berpendapat, sosok yang sudah pernah pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum dipandang telah memenuhi prinsip minimal kedewasaan dan pengalaman secara kuantitatif. Sementara itu, syarat minimal usia 40 tahun hanya bersifat kuantitatif.

"Sehingga, menyandingkan usia 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu seperti presiden dan wakil presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD, gubernur, bupati, dan walikota memenuhi unsur rasionalitas yang berkeadilan," ujar Guntur.

Sementara itu, MK juga mengakui normal batasan usai jabatan publik memang merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka sehingga seharusnya diatur oleh pembuat UU yaitu DPR dan pemerintah. Meski demikian, Hakim Konstitusional Manahan MP Sitompul menyatakan MK dapat menyatakan nomranitu inkonstitusional apabila kebijakan iu melampaui kewenangan pembentuk undang-undang, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, serta tidak nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

Apalagi, belakangan MK telah memutuskan perkara yang mengesampingkan prinsip open legal policy. Manahan mencontohkan, hal itu dalam dilihat dari putusan perkara nomor 112/PUU-XX/2022 dalam pengujian usia minimal pimpinan KPK, putusan nomor 70/PUU- XXX2022 tentang pengujian batas usia pensiun bagi jaksa, dan juga putusan nomor 121/PUU-XX/2022 tentang pengujian batas usia pensiun panitera di MK.

"Dipandang oleh Mahkamah norma yang dimohonkan penguji dinilai melanggar salah satu prinsip untuk dapat mengesampingkan atau mengabaikan open legal policy seperti pelanggaran terhadap prinsip moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable [tidak ditoleransi], tidak melampaui kewenangan, tidak merupakan penyalahgunaan wewenang, danatau bertentangan dengan UUD 1945," ungkap Manahan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper