Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah terus melakukan inventarisasi aset-aset negara. Salah satu aset yang sampai saat ini masih banyak masalah adalah aset milik negara di kawasan Gelora Bung Karno.
Temuan BPK pada 2021 lalu mengungkap bahwa pengelolaan hingga kerja sama pemerintah dengan pihak ketiga belum sepenuhnya berjalan baik.
Padahal GBK merupakan salah satu aset paling strategis milik negara. Nilai aset Gelora Bung Karno (GBK) bahkan tercatat sebagai kompleks termahal se-Indonesia, dengan nilai sebesar Rp347 triliun.
Dalam catatan Bisnis, tingginya nilai tersebut dikarenakan letak GBK yang berada di tengah kota Jakarta. Nilai tanah GBK saja mencapai Rp345 triliun.
Sementara itu jika mengacu kepada hasil audit BPK pada 2020, PPKGBK memiliki aset tetap Gedung dan Bangunan senilai Rp3,2 triliun.
Di sisi lain, nilai aset yang dikelola pemerintah naik setiap tahunnya. Pada tahun 2022 total aset pemerintah mencapai 12.325, 45 triliun atau naiik dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp11.454,67 triliun.
Baca Juga
Kenaikan aset tersebut ditopang oleh kenaikan aset tetap dari Rp5.947,12 triliun pada 2021 menjadi Rp6.729,89 triliun pada 2022. Selain itu kenaikan juga tampak dari sisi aset investasi jangka panjang dari Rp3.478,34 triliun, tahun lalu naik jadi Rp3.759,59 triliun.
Aset Dikelola Swasta
Dalam catatan Bisnis, aset-aset milik negara tersebut sebagian dikelola oleh swasta. Pengelolaan aset negara oleh swasta sebenarnya dimungkinkan secara undang-undang misalnya melalui skema hak guna bangunan atau hak pengelolaan lahan atau HPL.
Berdasarkan catatan Sekretariat Negara, aset-aset negara yang memanfaatkan sekama yang disediakan negara antara lain Hotel Mulia hingga Senayan City. Kedua bangunan prestisius tersebut berdiri di atas tanah negara.
Selain itu ada juga Hotel Sultan yang sekarang telah masuk dalam tahap eksekusi. Eksekusi dilakukan setelah putusan pengadilan yang menolak gugatan perdata PT Indobuildco milik konglomerat Pontjo Sutowo, terkait dengan sengketa Blok 15 Kawasan GBK (Hotel Sultan).
Anggota Tim Penasihat Hukum PPK GBK Saor Siagian mengatakan bahwa akan segera mengeksekusi putusan pengadilan perdata yang menolak gugatan PT Indobuildco terhadap Hak Pengelolaan (HPL) kawasan GBK itu atas nama Sekretariat Negara (Setneg).
Adapun gugatan perusahaan milik anak Ibnu Sutowo itu berfokus pada HPL yang diterbitkan pada 1989 oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) melalui Surat Keputusan (SK) No.169/HPL/BPN/89.
"PLH GBK sesuai putusan pengadilan [gugatan perdata PT Indobuildco] akan segera melakukan eksekusi," ujar Saor kepada Bisnis.com belum lama ini.
Pada kesempatan terpisah, Saor mengatakan bakal meminta PT Indobuildco secara persuasif untuk segera menyerahkan lahan tersebut. Dia juga meminta kepada seluruh pihak untuk kooperatif membantu proses penegakan hukum tersebut.
"Kami ingatkan karena masih ada pejabat atau siapapun yang mencoba untuk menghalang-halangi, demi hukum saya kira ini punya konsekuensi kami betul-betul," ucapnya setelah melaksanakan rapat bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Jakarta, Jumat (8/9/2023).
Nasib Aset BLBI
Sengketa Hotel Sultan menunjukkan bahwa permasalahan tentang aset negara menjadi bom waktu bagi pemerintah. Di sisi lain, sengkarut pengelolaan aset Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga tak pernah rampung. Saking banyaknya dan minimnya inventarisasi, sejumlah aset BLBI dikuasi pihak ketiga bahkan dijual oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Dengan Tujuan Tertentu (DTT) atas Pengelolaan Aset Properti dan Aset Kredit BLBI tahun 2020 dan Semester 1 2021, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tersebut menemukan sebanyak 808 aset properti senilai Rp5,8 triliun telah dikuasai pihak ketiga.
Aset BLBI yang dikuasai tersebut tersebar di sejumlah daerah. BPK mencatat 6 aset yang dikuasai pihak ketiga di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Jakarta III saja nilainya mencapai Rp293,9 miliar.
Aset-aset tersebut antara lain di Jalan Raya Pejaten RT 001/01, Pejaten Barat, Pasar Minggu seluas 2.210 m2 senilai Rp19,8 miliar yang diklaim dan diberi papan nama oleh pihak lain. Kemudian aset di ex-Pasar Patra, Kel. Duri Kepa, Kecamatan Kebon Jeruk seluas 9.164 m2 senilai Rp19 miliar yang diklaim dan diberi papan nama oleh pihak lain.
Aset lainnya berupa tanah di Duri Kepa Kecamatan Kebon Jeruk seluas 4.999 m2 senilai Rp50.339.930.000,00 yang digunakan oleh kelompok pemulung. Selanjutnya, aset tanah di Jalan Kali Baru Timur VI seluas 25.590 m2 senilai Rp11,2 miliar yang digunakan sebagai rumah oleh masyarakat sekitar.
Sedangkan aset yang terakhir, berupa tanah di Jalan Karet Belakang, Setiabudi yang masing-masing seluas 5.410 m2 dan 17.336 m2 dengan total nilai Rp193,3 miliar (Rp45,9 miliar + Rp147,3 miliar) yang digunakan sebagai rumah oleh masyarakat sekitar.
Selain di DKI Jakarta, BPK juga menyoroti aset-aset yang telah berpindah tangan di daerah lainnya. 13 aset berada di KPKNL Bandung senilai Rp30,1 miliar, 5 aset di KPKNL Semarang senilai Rp14,5 miliar dan lima aset yang berada di KPKNL Surabaya senilai Rp38 miliar.
Dijual Oknum DJKN
Dalam catatan Bisnis, lemahnya kontrol pemerintah terkadang menjadi celah bagi sejumlah oknum di Kementerian Keuangan untuk mengeruk keuntungan.
Awal tahun 2022, penyidik Polres Bogor telah menetapkan oknum pegawai Kemenkeu yang memalsukan surat aset BLBI. Pemalsuan surat tersebut membuat ratusan hektare aset ditengarai jatuh ke tangan pihak ketiga.
Kasus ini memiliki kaitan erat dengan perkara yang sedang ditangani oleh Mabes Polri. Perkaranya saat ini sudah masuk penyidikan.
Ringkasan Laporan Keuangan Transaksi Khusus Pemerintah Pusat yang diperoleh Bisnis dari kalangan pemerintah bahkan secara spesifik menunjukan aset-aset mana saja yang suratnya dipalsukan oleh jaringan mafia tanah yang diduga berkolaborasi dengan para pejabat di Kementerian Keuangan.
Aset pertama yang telah berpindah tangan adalah tanah seluas 2.991.360 m2 atau 2.991 hektare di Desa Neglasari. Kedua, aset seluas 2.013.060 m2 di Cikopomayak, Kabupaten Bogor.
Soal lahan di Cikopomayak, Satgas BLBI sebelumnya telah menyita lahan eks BLBI seluas 5.004.429 m2.
Ketiga, aset berupa lahan dan bangunan seluas 3.911 m2 di Kawasan Bogor Utara, Kota Bogor. Total kerugian negara menurut laporan keuangan tersebut senilai Rp52 miliar rupiah.