Bisnis.com, JAKARTA - Rusia mungkin dapat meningkatkan produksi artileri dalam beberapa tahun ke depan hingga sekitar 2 juta peluru per tahun, sekitar dua kali lipat dari perkiraan Barat sebelumnya, tetapi masih jauh dari kebutuhan perang Moskow di Ukraina, kata seorang pejabat Barat pada Jumat (8/9/2023).
Dilansir dari Channel News Asia, Sabtu (9/9/2023). pejabat tersebut yang berbicara tanpa menyebut nama memperkirakan Rusia menembakkan antara 10 juta hingga 11 juta peluru tahun lalu di Ukraina.
“Jika Anda mengeluarkan 10 juta peluru tahun lalu dan Anda berada di tengah pertarungan dan Anda hanya dapat menghasilkan 1 hingga 2 juta peluru setahun, menurut saya itu bukanlah posisi yang kuat,” jelasnya.
Investasi Rusia lainnya di sektor pertahanan juga memungkinkan Moskow memproduksi hampir 200 tank per tahun, dua kali lipat perkiraan Barat sebelumnya, kata pejabat itu. Namun hal itu juga, kata pejabat itu, masih jauh dari apa yang dibutuhkan setelah menderita kerugian besar di Ukraina.
“Ketika Anda kehilangan 2.000 tank, Anda punya waktu satu dekade sebelum Anda memulainya,” kata pejabat tersebut seraya menambahkan bahwa Rusia juga telah kehilangan 4.000 kendaraan tempur lapis baja, lebih dari 100 pesawat dan menderita 270.000 korban jiwa dalam konflik tersebut, termasuk kedua pasukan terbunuh dan terluka.
Kedutaan Besar Rusia di Washington tidak segera menanggapi permintaan komentar.
Baca Juga
Pada Mei 2023, Menteri Pertahanan Rusia Sergei Shoigu mengatakan produksi senjata dan pasokan senjata ke garis depan di Ukraina akan sangat penting bagi keberhasilan apa yang disebut Moskow sebagai operasi militer khusus.
Pada Juli 2023, Shoigu mengunjungi Korea Utara. Gedung Putih mengatakan Rusia saat ini sedang mencari Korea Utara untuk membantu mengisi kembali stok senjatanya dan menambahkan bahwa negosiasi senjata antara Moskow dan Pyongyang secara aktif mengalami kemajuan.
Pejabat Barat tersebut mengatakan bahwa perundingan tersebut kemungkinan besar bertujuan untuk mengamankan artileri dan menunjukkan keputusasaan Moskow terhadap Ukraina.
“Pemerintah harus meminta bantuan mitra-mitra yang meragukan ini untuk mendukung invasi besar-besaran mereka ke Ukraina. Dan hal ini akan memakan banyak biaya karena Korea Utara akan memberikan banyak keuntungan,” kata pejabat itu.
Pejabat itu mengatakan perekonomian Rusia sendiri berada di bawah tekanan karena Moskow mengalihkan sumber dayanya ke Ukraina, meningkatkan belanja pertahanan dan mengurangi belanja untuk hal-hal lain.
“Hal ini kemudian memicu risiko kerusuhan sosial dengan latar belakang politik yang rapuh,” kata pejabat tersebut.
Pernyataan mengenai ketegangan di Rusia muncul ketika beberapa calon presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik mempertanyakan bantuan AS ke Ukraina sehingga memicu kekhawatiran mengenai apakah Washington akan mempertahankan dukungannya setelah kampanye pemilu 2024 semakin intensif.
Pemerintah AS telah memberikan lebih dari US$43 miliar atau sekitar Rp661 triliun persenjataan dan bantuan militer lainnya ke Ukraina sejak invasi Rusia dimulai tahun lalu. (Nizar Fachri Rabbani)